Teknologi HPAL Dalam Industri Nikel: Tantangan Baru Bagi Lingkungan di Indonesia

Sumber: Bram & Anto Sangadji (2024)
Sumber: Bram & Anto Sangadji (2024)

Enam masalah timbul akibat penerapan Teknologi HPAL (High-Pressure Acid Leaching) dalam hilirisasi industri nikel. Masalah-masalah ini mencakup aspek sosial, lingkungan dan ketenagakerjaan. Masalah-masalah ini menjadi jejak kotor implementasi energi bersih global terhadap penggunaan nikel sebagai salah satu bahan baterai kendaraan listrik.


Pertama, Deforestasi menjadi masalah yang timbul akibat hilirisasi industri nikel. Sebelum melalui mekanisme HPAL, nikel dikeruk dari alam dengan membabat hutan terlebih dahulu. Lebih dari 2.400 hektare hutan telah hilang akibat pertambangan nikel di Indonesia. Selain itu, 6.000 hektare hutan berpotensi hilang akibat pemberian izin usaha pembukaan lahan tambang baru. Peneliti Senior Aksi Ekologi dan Emansipasi Rakyat (AEER), Arianto Sangadji mengatakan, “Deforestasi akibat aktivitas pertambangan ini terjadi secara legal bukan ilegal sebab adanya Izin Usaha Pertambangan (IUP), mengizinkan deforestasi itu terjadi.” Ujarnya pada Diskusi dan Publikasi Laporan HPAL dalam Industri Nikel: Tantangan Baru bagi Lingkungan Indonesia di Jakarta. 


Kedua, aktivitas pertambangan juga mengganggu Keragaman hayati alam Sulawesi. Akibat deforestasi pertambangan nikel, habitat lima spesies hewan endemik Sulawesi terancam. Hewan-hewan tersebut berasal dari spesies Bubalus sp. (Anoa), Macaca sp. (Monyet Macaca), Rhyticeros cassidix (Burung Julang Sulawesi), Strigocuscus celebensis (Kuskus Kerdil Sulawesi) dan Macrocephalon maleo (Burung Maleo).


Foto. Arianto Sangadji, Peneliti Senior/ Dewan Pengawas AEER


Foto. Pertambangan Nikel PT Sulawesi Cahaya Mineral di are Hutan sekitar Desa Tua Mopute Kecamatan Routa, Kabupaten Konawe.

Sumber: Bram & Anto Sangadji (2024)


Ketiga, ekstraksi nikel dengan teknologi HPAL menyebabkan limbah B3. Sementara tempat penyimpanan limbah perusahaan pertambangan nikel berada di wilayah rawan bencana. Sulawesi Tengah berada di Sesar Palu-Koro yang merupakan patahan dengan catatan kegempaan aktif. Koordinator JATAM Sulawesi Tengah, Moh. Taufik pun menolak teknologi pengasaman ini, “Teknologi HPAL ini dipaksakan. Limbah dari teknologi ini jika dibuang ke daratan, wilayah daratan Sulawesi ini rawan gempa. Daratan mengandung kadar nikel rendah hingga 0.8% dapat dieksploitasi menggunakan teknologi sehingga terjadi ekspansi nikel ke kawasan hutan dan areal warga.”

Koordinator Nasional Aksi Ekologi dan Emansipasi Rakyat (AERR), Pius Ginting pun menyoroti teknologi pemurnian nikel yang diterapkan perusahaan pada hilirisasi industri nikel di Indonesia, “Pilihan teknologi dalam Industri nikel ini perlu kita kritisi. Dampaknya sampai ke lingkungan.”


Foto. Pius Ginting, Peneliti Senior/ Koordinator Nasional AEER


Teknologi HPAL merupakan sistem pemurnian yang membutuhkan energi yang tinggi. Namun demikian, sistem kelistrikan yang digunakan masih memanfaatkan energi listrik berbahan bakar fosil. Penelitian dan penerapan teknologi diarahkan kepada jenis yang membutuhkan energi yang rendah, salah satunya adalah bioleaching. Permasalahan kelima, sengketa lahan antara perusahaan pertambangan dengan masyarakat lokal. Sengketa lahan antara masyarakat lokal dengan perusahaan tambang bukan pertama kali terjadi dalam industri pertambangan Indonesia. Namun demikian, hal ini tak menjadi pembelajaran pemangku kebijakan dalam pelaksanaan operasi industri nikel. Terdapat tiga kasus sengketa lahan antara perusahaan nikel dengan warga. Dua di Kabupaten Morowali, Sulawesi Tengah lalu satu kasus di Kabupaten Konawe, Sulawesi Tenggara.

Masalah ketenagakerjaan turut menjadi sorotan dalam jejak kotor industri nikel. Setidaknya tiga masalah dihadapi pekerja pertambangan nikel. Para pekerja harus menerima upah rendah sementara untuk mendapatkan upah lebih, waktu kerja menjadi lebih panjang. Selain itu buruknya sistem K3 serta pengurangan gaji tanpa adanya keadilan dan pemberitahuan juga dialami pekerja pada sektor ini.

Namun demikian, pertambangan tidak akan pernah lepas dari kehidupan masyarakat termasuk pertambangan nikel. Nikel pun sudah menjadi bahan tambang yang digunakan oleh masyarakat sehari-hari salah satunya sebagai bahan anti karat baja (stainless steel). Akademisi FTSL Kelompok Keahlian Rekayasa Air dan Limbah Cair ITB, M. Sonny Abfertiawan mengatakan, “Kita tidak akan pernah lepas dari dunia pertambangan. Ini sudah jadi kebutuhan masyarakat. Maka perlu penerapan kebijakan Good Mining Practices. Bagaimana caranya, lewat perencanaan yang baik.”


Foto. M. Sonny Abfertiawan, Akademisi FTSL ITB Kelompok Keahlian Rekayasa Air dan Limbah Cair


Ia pun menyoroti penggunaan baterai kendaraan listrik pada era peralihan transportasi berbahan bakar fosil seperti saat ini. Ia menyebut bahwa masa ini seperti masa peralihan transportasi kuda ke transportasi mesin pada masa Revolusi Industri di abad ke-18 sehingga akan banyak penyesuaian di berbagai aspek.

Share this article :

Aksi Ekologi & Emansipasi Rakyat berjuang memperluas ruang demokrasi dalam pengelolaan SDA berkelanjutan & membangun kesadaran ekologi politik rakyat.

Ikuti kami di sosial media!

Informasi & Kontak

Copyright 2024 © All Right Reserved Design by Aksi Ekologi & Emansipasi Rakyat