Regulasi yang Berpihak: Menakar Komitmen Pemerintah terhadap Energi Berbasis Komunitas

Foto. Nelayan Perempuan di Kawasan Pertambangan Nikel

25 Maret 2025 – Energi terbarukan berbasis komunitas menjadi aspek krusial untuk mencapai ketahanan energi yang inklusif dan berkelanjutan. Energi berbasis komunitas, seperti Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) komunitas dan inisiatif energi terbarukan lainnya, tidak hanya berkontribusi terhadap dekarbonisasi sektor energi, tetapi juga memperkuat kemandirian ekonomi lokal. Mempersiapkan masyarakat adalah kunci utama mengimplementasikan energi terbarukan berbasis komunitas khususnya di era transisi energi seperti saat ini. 

 

Penerapan energi terbarukan berbasis komunitas adalah langkah tepat mewujudkan transisi energi berkeadilan. Hal ini disampaikan Ronaldo Martua, Power System Analyst Aksi Ekologi dan Emansipasi Rakyat (AEER) pada Diskusi publik “Regulasi yang Berpihak: Menakar Komitmen Pemerintah terhadap Energi Berbasis Komunitas”, 21 Maret 2025, “Energi terbarukan berbasis komunitas merupakan solusi dari dua target nasional berupa ketahanan energi dan desentralisasi. Dan untuk menciptakan energi yang berkeadilan, dalam prosesnya penting adanya keterlibatan perempuan.” Ronal juga menjelaskan, masa 3 (tiga) bulan pertama adalah masa kritis dalam implementasi program energi terbarukan berbasis komunitas sebab pada periode ini dilakukan penilaian terhadap kemampuan masyarakat untuk bisa berpartisipasi aktif, terutama di wilayah 3T (Terluar, Terdepan, dan Tertinggal)

 

Foto. Paul Butarbutar (Kiri) dan Ronaldo Martua (Tengah) pada Diskusi publik "Regulasi yang Berpihak: Menakar Komitmen Pemerintah terhadap Energi Berbasis Komunitas"
Foto. Paul Butarbutar (Kiri) dan Ronaldo Martua (Tengah) pada Diskusi publik “Regulasi yang Berpihak: Menakar Komitmen Pemerintah terhadap Energi Berbasis Komunitas”

  

Paul Butarbutar, Ketua Sekretariat Just Energy Transition Partnership (JETP) Indonesia mengungkapkan perencanaan yang komprehensif adalah langkah awal untuk mewujudkan transisi energi yang berkeadilan dengan dampak yang setara bagi masyarakat, “Kalau kita mengimplementasikan yang namanya Just Energy Transition maka itu juga bisa mendorong terjadinya peningkatan prosperity dan juga kesehatan masyarakat. Misalnya kalau semakin banyak orang menggunakan bus listrik di perkotaan maka tentunya polusi negara di perkotaan juga akan berkurang. Ini adalah skenario hanya bagian kecil dari skenario yang kita sudah kerjakan di tahun 2023.” Namun sampai saat ini, JETP Indonesia mengaku belum menerima perencanaan program berbasis komunitas. Paul juga menjelaskan bahwa JETP Indonesia berkomitmen terhadap program-program yang bisa menjelaskan secara komprehensif tujuan yang akan dicapai demi terwujudnya transisi energi yang berkeadilan.

 

Foto. Rifiana MS (Kiri) dan Tri Mumpuni (Kanan) pada Diskusi publik "Regulasi yang Berpihak: Menakar Komitmen Pemerintah terhadap Energi Berbasis Komunitas"

Foto. Rifiana MS (Kiri) dan Tri Mumpuni (Kanan) pada Diskusi publik “Regulasi yang Berpihak: Menakar Komitmen Pemerintah terhadap Energi Berbasis Komunitas”


Selain itu, Tri Mumpuni, Ketua Institut Bisnis dan Ekonomi Kerakyatan (IBEKA) menilai bahwa keterlibatan masyarakat adalah kunci keberhasilan implementasi energi berbasis komunitas salah satunya dengan program pembangkit listrik mikrohidro yang IBEKA implementasikan di Pulau Sumba, Nusa Tenggara Timur. Keterlibatan erat antara masyarakat lokal dengan program transisi energi berkeadilan merupakan wujud partisipasi nyata warga, menyelaraskan penerapan program transisi energi sesuai kondisi di kawasan 3T, serta berdampak terhadap perekonomian lokal, “Saya meyakinkan pemerintah tolong jangan berbasis pada bisnis, dimana jika uang dibatasi dan waktunya dibatasi. Jika menunggu uang cepat dan waktu dibatasi maka kasihan rakyat. Pembangkit energi berbasis masyarakat contohnya bagaimana mampu untuk menjadi mesin penggerak terhadap kebutuhan ekonomi. Pembangunan yang baik adalah pembangunan yang mendekatkan teknologi kepada kemampuan masyarakat.” Tri Mumpuni juga menambahkan pemahaman sosial dan pengelolaan implementasi program memegang kunci kesuksesan hingga 70%. Setidaknya, dibutuhkan waktu kurang lebih 18 bulan agar kesadaran masyarakat tumbuh dan terlibat dalam pembangunan proyek energi berbasis komunitas hingga operasional program. 

 

Pemetaan masalah energi masyarakat di kawasan 3T pun harus dilakukan dengan komprehensif sebab masih ada permasalahan dasar yang ditemukan di tengah transisi energi menuju energi rendah karbon demi mengurangi dampak lingkungan dari produksi energi. “Saya adalah masyarakat yang tinggal di tengah-tengah perusahaan industri nikel morowali, jika ada pertanyaan kenapa dan apa urgensi adanya pengelolaan listrik berbasis komunitas? Tentu sangat penting karena hari-hari ini kami berada di tengah perusahaan yang begitu besar kami justru merasakan krisis listrik bisa sehari 2-3 kali padam. Sehingga menyebabkan masyarakat itu mengalami kerugian dalam hal ini soal ekonomi akan terhambat, barang elektronik akhirnya rusak dan itu sampai hari ini.” Ungkap Rifiana MS, Perwakilan Masyarakat Bungku Barat, Sulawesi Tengah.

 

Pemerintah selaku penyusun kebijakan diharapkan menyelesaikan berbagai hambatan pengembangan energi berbasis komunitas yang masih berjalan lambat, yakni dengan menyusun regulasi energi berkeadilan yang tepat sasaran, memberikan insentif khusus bagi pelaku bisnis energi, serta memperluas akses pembiayaan. Selain itu kebijakan yang disusun dapat tersebar luas ke setiap elemen masyarakat, mendukung perekonomian dan kemandirian masyarakat lokal.

Share this article :

Aksi Ekologi & Emansipasi Rakyat berjuang memperluas ruang demokrasi dalam pengelolaan SDA berkelanjutan & membangun kesadaran ekologi politik rakyat.

Ikuti kami di sosial media!

Informasi & Kontak

Copyright 2025 © All Right Reserved Design by Aksi Ekologi & Emansipasi Rakyat