Pentingnya Pembangunan Transportasi Publik Berbasis Listrik Di Kota Bandung

Pentingnya Pembangunan Transportasi Publik Berbasis Listrik Di Kota Bandung

Siaran Pers

Bandung, 11 September 2023 – Pemerintah Kota Bandung telah menentukan sejumlah rute dalam pembangunan proyek perkeretaapian transportasi berbasis rel atau Light Rail Transit (LRT). Proyek ini rencananya akan didanai oleh Green Infrastructure Initiative (GII) sebagai kerja sama antara pemerintah Indonesia dan Jerman. Selain LRT, pemerintah Kota Bandung juga tengah mengembangkan Bus Rapid Transit (BRT) yang sebagian kendaraannya berbasis listrik. Saat ini, area layanan angkutan umum di kota Bandung belum sepenuhnya mencakup area pinggir kota. Dari 1.408 km jalan eksisting, hanya 526,7 km yang dilayani oleh transportasi umum. Rata-rata load factor angkutan umum yang hanya 36,6% (dari minimum 60%), menyebabkan angkutan umum Kota Bandung hanya mampu memenuhi 23% dari total pangsa angkutan Kota Bandung. Secara persebaran moda pun, angkutan umum hanya sebanyak 13% dari keseluruhan perjalanan yang ada. Padahal, persentase People Near Transit (PNT) di Kota Bandung mencapai angka 82% dengan jangkauan area 77%.


Dalam Focus Group Discussion yang adakan oleh Aksi Ekologi dan Emansipasi Rakyat (AEER), Peneliti Transportasi Perkotaan Jemima Nathenia, mengungkapkan proses pembangunan kendaraan berbasis listrik di Bandung harus banyak belajar dari Jakarta, salah satunya LRT Jabodebek. Terdapat banyak catatan kritis dari operasional LRT Jabodebek seperti kesalahan perhitungan pada perhitungan dimensi kereta, minimnya informasi pelayanan, gangguan, dan integrasi, serta tidak adanya tempat parkir legal untuk mendukung fasilitas park and ride. Hal-hal tersebut, meski terkesan minim, dapat memengaruhi persepsi masyarakat untuk memilih LRT sebagai moda mobilitas utama.


“Kami sudah melakukan penelitian kuantitatif berbasis kuesioner, menunjukkan bagaimana kritik dan saran yang diberikan pada LRT Jabodebek berasal dari pengguna first-hand. Karena itu, selama masih dalam proses perencanaan, penting bagi bagi Bandung membangun transportasi publik berbasis listrik dengan mempelajari kesalahan-kesalahan LRT Jabodebek, agar dapat beroperasi dan melayani penumpang dengan maksimal,” tutur Jemima.


Ketua Tim Kerja Integrasi Moda Transportasi Dinas Perhubungan Jawa Barat, Chris Dwi, menjelaskan saat ini proyek BRT yang digarap di Bandung akan menggunakan jalur berbeda dari trayek LRT dan sebagian dari BRT yang beroperasional merupakan bus listrik. Menurutnya, BRT akan tetap beroperasi sesuai jadwal sebab program ini merupakan batu loncatan untuk mulai mengubah kebiasaan mobilitas masyarakat Bandung agar beralih ke transportasi publik.

Kemudian, rencana pembiayaan program GII terhadap LRT Bandung mencakup beberapa rute yakni Leuwipanjang-Jatinangor, Martadinata-Banjaran, Gedebage-Majalaya. Meski rencana ini masih dinamis, Chris mengaku penentuan rute akan bergantung pada jumlah demand-supply. Ia pun menjelaskan saat ini masih terdapat beberapa opsi teknologi kereta api yang belum ditentukan, seperti LRT, Monorail, dan Metro Capsule.


“Saat ini progres pembangunan perkeretaapian Bandung sudah menyelesaikan dokumen Early Business Case (EBC) sudah selesai kemudian Outline Business Case (OBC) pada 2021 sudah selesai. Alhamdulillah kemarin persetujuan untuk mendapatkan Project Development Facility (PDF) dari Kementerian Keuangan sudah selesai, yang diharapkan bisa mendukung kelanjutan studi sampai kemudian dilanjutkan lelang investasi, financial closure dan mulai konstruksi pada 2026 kemudian operasional pada 2030. Ini sudah on schedule,” ucapnya.  


Sekretaris Masyarakat Transportasi Indonesia (MTI) Sukma Rahadian menjelaskan saat ini yang menjadi kendala bagi transportasi publik adalah pra dan purna perjalanan atau first/last mile. First mile adalah jarak dari rumah menuju halte/stasiun transportasi umum terdekat dan last mile adalah jarak dari stasiun/halte ke tempat tujuan. Akibatnya, masyarakat enggan memilih naik transportasi publik sebab ongkos yang dikeluarkan masih lebih mahal ketimbang naik kendaraan pribadi. Berdasarkan perhitungan Sukma, rata-rata transportasi publik baru terhitung lebih murah daripada sepeda motor setelah 40 kilometer dengan asumsi harga transportasi publik disubsidi. 

“Ada beberapa solusi untuk persoalan ini, pertama adalah subsisi untuk feeder. Kita harus fokus di feeder, termasuk yang inklusif kepada semua masyarakat. Kemudian perbaikan fasilitas non-motorized seperti pejalan kaki dan pesepeda sehingga dapat mengurangi biaya first and last mile. Selanjutnya meningkatkan kualitas pelayanan angkutan umum dan pembatasan kendaraan pribadi. Ini mungkin terdengar teoritis, namun ada faktor-faktor lain yang bisa diangkat untuk mendorong penggunaan transportasi publik, seperti faktor sosial dan politik,” ucap Sukma.


Sementara, Presiden Pergerakan Disabilitas dan Lanjut Usia (DILANS) Indonesia Farhan Helmy menyoroti pentingnya inklusivitas dalam pembangunan transportasi publik. Tidak hanya moda transportasi yang ramah untuk kelompok rentan, namun juga infrastruktur yang ramah menuju moda kerap diabaikan dalam pembangunannya. Farhan merujuk pada data World Health Organization (WHO) yang memperkirakan sekitar 10-15% penduduk adalah kelompok lanjut usia dan difabel yang beragam. Sedangkan selama ini pembangunan infrastruktur yang dianggap ramah oleh pemerintah hanya berbasiskan pada satu kelompok saja.

“Persoalan transportasi publik yang inklusif seringkali tidak melibatkan kami, kebijakan untuk penyandang disabilitas justru dirumuskan oleh orang-orang yang tidak disabilitas. Bagi pengguna kursi roda seperti saya, ketinggian 2-3 cm itu sangat penting karena jika terlalu tinggi saya bisa terguling. Jadi ini sangat berpengaruh. Kalau kita membicarakan first/last mile itu, apakah bisa orang-orang berkursi roda datang sampai stasiun/halte? Anggaplah saya sudah punya kursi roda dan infrastrukturnya sudah memadai, kemudian ada aspek ranah (sphere) yaitu interaksi, umumnya pada ranah ini yang seringkali terjadi diskriminasi. Kemudian juga soal bagaimana masyarakat kita memperlakukan ruang bersama, termasuk masyarakat melihat infrastruktur yang ada untuk kelompok difabel,” tegas Farhan.

Share this article :

Aksi Ekologi & Emansipasi Rakyat berjuang memperluas ruang demokrasi dalam pengelolaan SDA berkelanjutan & membangun kesadaran ekologi politik rakyat.

Ikuti kami di sosial media!

Informasi & Kontak

Copyright 2024 © All Right Reserved Design by Aksi Ekologi & Emansipasi Rakyat