Di tengah persiapan perayaan Tahun Baru Imlek pada 29 Januari 2025, kelompok masyarakat sipil dari Pakistan, Bangladesh, Indonesia, Filipina, dan India mendesak Cina segera memimpin transisi energi berkeadilan dari bahan bakar fosil ke energi terbarukan (ET).
Dalam konferensi pers di Quezon City, Filipina para pemimpin gerakan di Asia mengatakan bahwa Cina berada dalam posisi terbaik untuk memimpin transisi negara-negara berkembang ke tingkat penghentian bahan bakar fosil dengan lebih cepat karena negara ini menjadi produsen dan pemasok terbesar teknologi ET di dunia, khususnya tenaga surya dan angin.
“Cina berada dalam posisi yang sangat penting dan unik untuk memimpin transisi berkeadilan yang cepat dari bahan bakar fosil ke sistem energi terbarukan 100% di Asia. Cina adalah produsen lebih dari 70% pasokan global teknologi surya dan angin serta telah berkontribusi secara signifikan dalam menurunkan biaya teknologi tersebut. Cina juga memiliki salah satu tingkat pertumbuhan tertinggi dalam pangsa ET dalam bauran listriknya. Dengan sumber daya keuangan yang besar, negara ini dapat memobilisasi investasi untuk transisi ke energi terbarukan yang berkeadilan. Namun, Cina juga masih memiliki pekerjaan besar dalam menghentikan penggunaan batu bara dalam produksi energi domestiknya. Hal ini menunjukkan perlunya peran kepemimpinan yang lebih aktif dari Cina dalam transisi energi di Asia dan secara global,” ujar Lidy Nacpil, Koordinator Aliansi Regional Gerakan Rakyat Asia untuk Utang dan Pembangunan (Asian Peoples’ Movement on Debt and Development). “Negara-negara berkembang membutuhkan lebih banyak dukungan dari Cina, terutama dalam mempercepat pembiayaan yang ditingkatkan, tepat sasaran, dan adil untuk mendukung transisi energi berkeadilan di Asia,” tambah Nacpil. Ia juga menunjukkan bahwa Presiden Xi mengumumkan ketersediaan dana pembiayaan sebesar USD107 miliar yang dikhususkan untuk mendukung proyek energi bersih di negara-negara berkembang selama Belt Road Initiative Summit 2023. “Realisasi komitmen ini harus ditingkatkan melalui instrumen dan mekanisme keuangan berbasis hibah agar tidak memperburuk beban utang negara-negara berkembang.”
Para pemimpin masyarakat sipil negara-negara Asia juga menyampaikan beberapa tuntutan untuk meningkatkan implementasi penuh energi terbarukan di Asia. Ian Rivera, Koordinator Gerakan Keadilan Iklim Filipina (Philippine Movement for Climate Justice), mendesak Cina membangun kemitraan strategis dengan pemerintah sub-nasional di negara-negara berkembang dan mempercepat pengembangan proyek ET dan mendorong transisi energi negara sesuai dengan komitmen Perjanjian Paris. “Seperti Filipina, yang memiliki potensi energi terbarukan tinggi yang belum dimanfaatkan dan membutuhkan investasi. Potensi lepas pantai sebesar 178 GW dan potensi PV surya sebesar 122 GW membutuhkan investasi dan pembiayaan. Dalam dunia yang telah melampaui 1,5°C dan sains yang menekankan 2025 sebagai puncak bahan bakar fosil, pergeseran cepat ke energi terbarukan bersih memiliki manfaat ganda untuk negara yang sangat bergantung pada bahan bakar fosil. Dalam konteks Filipina, di mana batu bara dan bahan bakar fosil mahal dan tidak andal, hal ini juga akan mengatasi masalah kemiskinan energi dan kurangnya akses listrik yang lazim di negara-negara berkembang di Selatan.”
Pius Ginting, Koordinator Aksi Ekologi dan Emansipasi Rakyat (AEER) dari Indonesia, mengatakan, “Bahan bakar fosil yang berbahaya harus segera dihentikan, tetapi energi terbarukan harus diintegrasikan ke dalam bauran energi, dan pendanaan yang signifikan harus disediakan untuk memungkinkan kami melakukan transisi berkeadilan. Investasi Cina di industri nikel dengan menggunakan pembangkit listrik berbasis batubara mencapai sekitar 9.000 MW. Hal ini merugikan pekerja Cina dan Indonesia.”
Sementara itu, Sharif Jamil, Ketua Waterkeepers Bangladesh, mengatakan, “Negara-negara yang memimpin pengembangan teknologi energi terbarukan dan memiliki kapasitas pembiayaan yang kuat, terutama Cina, seharusnya mendukung transfer teknologi dan memobilisasi pembiayaan murah untuk negara-negara berkembang. Bangladesh memiliki potensi tinggi dan merupakan tempat bagi Cina untuk mempercepat pendanaan dan peralatan energi terbarukan. Harus ada lebih banyak keterlibatan di tingkat bilateral untuk memfasilitasi transisi yang mulus ke produksi energi yang berkelanjutan dan pertumbuhan ekonomi.”
Foto: APMDD
Ravi Rebbapragada, Ketua Mines, Minerals & People di India, menekankan bahwa “Cina berada dalam posisi unik untuk mendukung transisi energi di India dan negara-negara berkembang di Asia. Cina dapat memberikan dukungan ini tidak hanya dengan menyediakan peralatan dan material yang diperlukan untuk transisi ke energi terbarukan tetapi juga melalui pelatihan teknologi, berbagi pengetahuan, dan pembiayaan untuk membekali negara-negara dengan keterampilan dan sumber daya yang diperlukan untuk mengembangkan dan memelihara sistem energi terbarukan mereka sendiri, termasuk pemanfaatan mineral transisi yang ditemukan di negara-negara mereka.”
“Energi terbarukan bukan hanya solusi untuk krisis iklim. Dengan mengubah sumber energi surya dan angin yang belum dimanfaatkan menjadi proyek nyata yang berdampak, kita dapat mentransformasi sistem energi kita untuk memberdayakan masyarakat, mendorong pertumbuhan ekonomi, dan mengakhiri ketergantungan kita pada bahan bakar fosil” ujar Badar Alam, CEO Policy Research Institute for Equitable Development (PRIED) di Pakistan.
Pada Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa pada 21 September 2021, Presiden Republik Rakyat Cina, Xi Jinping mengatakan, “Cina akan meningkatkan dukungan bagi negara-negara berkembang lainnya dalam mengembangkan energi hijau dan rendah karbon, serta tidak akan membangun proyek pembangkit listrik tenaga batu bara baru di luar negeri.” Pada 18 Oktober 2023, ia juga menegaskan komitmen Cina untuk mendorong pengembangan energi terbarukan selama Belt Road Initiative Summit (BRI) 2023 di Beijing.
Copyright 2025 © All Right Reserved Design by Aksi Ekologi & Emansipasi Rakyat