Ratusan organisasi masyarakat sipil dari Eropa, Amerika Latin dan Asia mengkritisi Perjanjian Kerja Sama Ekonomi Komprehensif Indonesia-Uni Eropa (CEPA). 123 organisasi yang bergerak di bidang lingkungan dan kemasyarakatan ini melihat dampak negatif CEPA terhadap hak asasi manusia (HAM) dan lingkungan hidup seiring dengan kemampuan Indonesia untuk memberikan nilai tambah pada bahan baku mentah (raw materials) mineral tambang.
Indonesia dan Uni Eropa (EU) melakukan perundingan Perjanjian Kerja Sama Ekonomi Komprehensif Indonesia-Uni Eropa (CEPA) sejak 2016. Pada negosiasi tersebut, terdapat sejumlah perdebatan salah satunya mengenai bahan baku mineral mentah (raw materials). Pada aturan mengenai Energi dan Bahan Baku Mentah secara khusus meregulasi pembukaan akses pasar dan investasi di sektor energi dan bahan baku mineral mentah agar tidak ada hambatan terhadap perdagangan dan investasi EU.
Namun, liberalisasi investasi, perdagangan energi dan bahan baku mineral mentah dalam Indonesia-EU CEPA akan berdampak negatif terhadap kepentingan nasional Indonesia, lingkungan hidup, dan masyarakat. Meskipun hubungan erat, solidaritas dan kerja sama sangat penting antara Uni Eropa dan Indonesia, kelompok masyarakat sipil Eropa, Amerika Latin dan Indonesia ingin menyampaikan kekhawatiran mengenai potensi dampak CEPA, khususnya terhadap hak asasi manusia (HAM) dan lingkungan hidup seiring dengan kemampuan Indonesia untuk memberikan nilai tambah pada bahan bakunya.
Praktik penambangan yang tidak bertanggung jawab, konsekuensi sosial dan ekologisnya
Meningkatnya permintaan bahan baku mineral kritis demi transisi energi hijau telah memicu eksploitasi dan ekstraksi sumber daya alam (SDA) secara berlebihan, seperti yang terjadi di Indonesia. Indonesia adalah produsen nikel terbesar di dunia, di samping batu bara, tembaga, kobalt, timah, emas dan bauksit. Sejumlah data menunjukkan, Indonesia memasok lebih dari seperempat pasokan mineral dunia. [1] Di kawasan yang disebut ‘Provinsi Nikel’ yaitu Sulawesi dan Maluku Utara, kerusakan akibat pertambangan nikel terjadi dalam berbagai aspek. Pertambangan nikel mencemari ekosistem laut dan sungai, mengurangi stok ikan, menyebabkan infeksi kulit pada anak-anak, dan mengancam penghidupan masyarakat lokal dan masyarakat adat. [2] Penambangan nikel juga mengancam ekosistem terumbu karang di Raja Ampat, Papua Barat [3] dan berpotensi memperburuk konflik bersenjata di Papua Barat yang saat ini membuat hampir 80.000 warga sipil mengungsi.[4] Penambangan juga mendorong deforestasi [5] dan menyingkirkan masyarakat lokal secara paksa.[6] Perempuan pun dipaksa “beradaptasi” dengan situasi tersebut, berperan sebagai buruh pertambangan dengan kondisi kerja yang buruk, bekerja informal seperti penjual makanan, atau menjadi pekerja seks. Ekstraksi bahan baku mineral kritis juga terjadi dengan mengorbankan pekerja dan serikat pekerja.[7]
Dampak sosial dan lingkungan dari ekstraksi mineral kritis demi transisi energi ramah lingkungan tidak dibahas secara efektif dalam aturan Energi dan Bahan Baku Mentah Indonesia-EU CEPA. Tidak ada implikasi hukum bagi pihak-pihak yang gagal memitigasi dampak tersebut. Ketentuan pada bagian perdagangan dan pembangunan berkelanjutan pun masih dipertanyakan efektivitasnya, mengingat belum adanya mekanisme penegakan hukum yang mengikat bagi pihak-pihak terkait, khususnya korporasi. Hal ini berisiko mengikis kewenangan Indonesia dalam mengelola SDA dan memberikan nilai tambah bahan mentah di dalam negeri serta mendukung periode baru industri ekstraktif.
Kurangnya nilai tambah dan terhambatnya pembangunan industri Indonesia
Aturan Energi dan Bahan Baku Mentah Indonesia-EU CEPA secara khusus meregulasi pembukaan akses pasar dan investasi di sektor energi dan bahan baku mentah, serta berfungsi memastikan tidak adanya hambatan terhadap investasi Uni Eropa di sektor tersebut. Aturan ini berupaya agar Indonesia membuka akses pasar dan menghilangkan perlakuan ‘diskriminatif’ di sektor energi dan bahan baku. Hal ini mencakup ketentuan yang melarang pembatasan ekspor, termasuk penghapusan semua bea ekspor atau tindakan apa pun yang mempunyai dampak serupa. Namun demikian, ketentuan ini bertentangan dengan kebijakan pemerintah Indonesia yang membatasi ekspor mineral mentah demi memenuhi pengolahan dalam negeri.
Tekanan Uni Eropa terhadap Indonesia untuk menghapuskan pembatasan ekspor mineral mentah menimbulkan pertanyaan atas komitmen EU dalam mendukung produksi nilai tambah dalam negeri di negara-negara mitranya. Pada ketentuan mengenai persyaratan kinerja, melarang penerapan komponen lokal atau Tingkat Komponen Dalam Negeri (TKDN) pada barang ekspor sementara persyaratan transfer teknologi sangat dibutuhkan.
Larangan ini akan semakin mempersulit Indonesia untuk memperkuat agenda ekonomi hilirisasi demi menambah nilai barang ekspor. Penerapan prioritas kebijakan industri di EU, jika dilakukan dengan cara “business as usual”, hanya akan memperdalam ketimpangan pembangunan di negara-negara berkembang seperti Indonesia. Keinginan EU untuk menjamin pasokan mineral penting bagi pengembangan industri negara-negara anggotanya hanya akan melanggengkan praktik bisnis ekstraktif seperti sebelumnya.
Aturan Energi dan Bahan Baku Mentah ini juga mendorong privatisasi dengan melarang intervensi pemerintah dalam penetapan harga energi. Ketentuan ini hanya akan menguntungkan pihak swasta asing yang berbisnis di Indonesia sebagai produsen listrik independen, sehingga pemerintah Indonesia tidak punya pilihan selain membeli listrik dengan harga yang ditentukan perusahaan. Mekanisme ini hanya akan menambah beban keuangan negara dan melemahkan akses masyarakat terhadap listrik dengan harga terjangkau, serta menghambat terwujudnya transisi energi yang berkeadilan.
Perlindungan perusahaan untuk pasokan mineral kritis di Indonesia
Perluasan aktivitas ekstraksi sumber daya alam oleh Uni Eropa dan privatisasi sektor energi di Indonesia hanya akan memperkuat perlindungan terhadap perusahaan multinasional. Hal ini dibuktikan pada aturan Investasi Indonesia-EU CEPA yang memuat Investment Court System (ICS). Tawaran Uni Eropa untuk menjalankan ICS hanyalah sebuah rebranding dari mekanisme Investor-State Dispute Settlement (ISDS) yang sudah ada sebelumnya. Aturan ini memberikan hak khusus kepada perusahaan multinasional untuk menuntut negara tempat perusahaan berinvestasi. Mengingat tren persaingan global untuk menjamin pasokan mineral kritis dan agenda nasionalisasi SDA berdasarkan undang-undang pertambangan RI, hal ini akan membuka lebih banyak potensi tuntutan hukum bagi Indonesia mengingat pengalaman Indonesia di masa lalu pada gugatan menangani pertambangan mineral.
Pertambangan adalah salah satu industri yang paling sering menggunakan mekanisme ISDS. Dengan dimasukkannya elemen-elemen tersebut ke dalam Indonesia-EU CEPA akan berdampak kepada perlindungan hak-hak masyarakat Indonesia jika berhadap dengan korporasi. Uni Eropa baru-baru ini memutuskan untuk keluar dari Energy Charter Treaty setelah beberapa kasus ISDS, namun pihaknya masih mempromosikan ketentuan mengenai ICS dalam negosiasi perdagangan. Hal ini menunjukkan inkonsistensi dan standar ganda Uni Eropa terkait sistem ISDS.
Konsekuensi bagi Uni Eropa
Selain potensi dampak negatif bagi Indonesia, kebijakan Uni Eropa yang mendorong liberalisasi pasar telah merugikan akses EU terhadap mineral kritis. Di saat Uni Eropa dan Indonesia masih berdebat dengan aturan perdagangan, Tiongkok telah menginvestasikan puluhan miliar pada industri ekstraksi dan pemurnian nikel di Indonesia. Hasilnya, Perusahaan Tiongkok mendapatkan pasokan nikel dalam jumlah besar untuk transisi energi negaranya. Diperkirakan 80-82% atau sebagian besar produksi nikel untuk bahan baku baterai di Indonesia diproduksi perusahaan nikel asal Tiongkok pada 2025.[8]
Oleh karena itu, Uni Eropa disarankan membangun kerja sama yang setara dan komprehensif dengan Indonesia serta tidak memaksa Indonesia meliberalisasi ekspor bahan mentah atau menyerahkan kewenangan penentuan harga. EU harus menunjukkan kesediaannya mendukung kebijakan nilai tambah barang ekspor Indonesia dan ekonomi berkelanjutan. EU dapat merumuskan solusi perbaikan lingkungan dari dampak industri nikel perusahaan Tiongkok di Indonesia. Hal ini dapat dilakukan dengan investasi dan mendukung kapabilitas pengolahan industri pertambangan yang lebih bersih dan bertanggung jawab. Selain itu, perlu adanya kebijakan ganti rugi yang setimpal untuk kerusakan sumber daya alam. Hal ini akan menjadi tolok ukur praktik perdagangan yang adil, setara dan berkelanjutan.
Melihat kondisi ini, organisasi masyarakat sipil dari Eropa, Amerika Latin dan Indonesia meminta Pemerintah RI dan negara-negara yang tergabung dalam Uni Eropa untuk menjalankan hal-hal berikut.
Organisasi Pendukung
Organisasi global and regional
Organisasi Nasional
[1] https://www.trade.gov/country-commercial-guides/indonesia-mining
[2]https://www.business-humanrights.org/en/latest-news/indonesia-nickel-mining-operations-in-kabaena-island-in-sulawesi-adversely-affect-bajaus-health-livelihood/
[3]https://suarapapua.com/2024/08/06/delapan-perusahaan-tambang-kantongi-izin-raja-ampat-terancam-tinggal-nama/
[4] https://humanrightsmonitor.org/reports/idp-update-september-2024-new-research-on-idps-in-west-papua-underlines-urgent-need-for-gov-action-action/
[5] https://www.ft.com/content/cd1fd7f3-b3ea-4603-8024-db75ec6e1843
[6] https://news.mongabay.com/2024/02/indonesian-nickel-project-harms-environment-and-human-rights-report-says/
[7]https://www.ft.com/content/56013ee9-f456-4646-895c-aeb65a685f85
[8] https://www.ft.com/content/0f8e2fe8-c7cb-4d6a-9436-1cb1806af4e0
[9]https://www.reuters.com/world/asia-pacific/whats-stake-with-indonesias-controversial-jobs-creation-law-2022-06-09/
Copyright 2025 © All Right Reserved Design by Aksi Ekologi & Emansipasi Rakyat