Forum Kolaboratif Untuk Menimbang Prioritas Iklim Sulawesi Tengah: Masa Depan Pangan dan Energi di Tengah Krisis

17-18 Februari 2025, Palu, Sulawesi Tengah – Forum kolaboratif ini membahas korelasi antara pangan dan energi terhadap krisis iklim di Sulawesi Tengah, yang semakin terancam memburuk akibat perubahan iklim serta ambisi pemerintahan yang semakin masif dan ekstraktif. Kebijakan seperti pengelolaan satu juta hektar sawit dan hilirisasi nikel di Sulawesi menjadi perhatian utama dalam diskusi ini. Acara ini diselenggarakan oleh Walhi Sulteng, bekerja sama dengan Aksi Ekologi dan Emansipasi Rakyat (AEER), Indonesia Research Institute for Decarbonization (IRID), dan Yayasan Pikul.

 

Tujuan diskusi ini adalah untuk menganalisis peran daerah, termasuk pemerintah, masyarakat sipil, dan akademisi, dalam mewujudkan aksi iklim yang nyata, terutama di tengah transisi pemerintahan di Indonesia.

 

Peserta dan Tokoh Kunci yang Menghadiri.

Diskusi ini dihadiri oleh berbagai pemangku kepentingan, termasuk pemerintah daerah, akademisi, dan organisasi masyarakat sipil di Sulawesi Tengah. Peserta yang terlibat meliputi:

  1. Instansi Pemerintah: Dinas Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Sulteng, Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG) Sulteng, Dinas Tanaman Pangan & Hortikultura, Dinas Perkebunan dan Peternakan, Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (Bappeda) Sulteng, Dinas Bina Marga dan Tata Ruang, Dinas Kelautan dan Perikanan (DKP)
  2. Organisasi Masyarakat Sipil: Yayasan Ekonesia, Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) Sulteng, Serikat Perempuan (SP) Palu, Relawan Orang dan Alam (ROA)
  3. Akademisi: Perwakilan dari Universitas Tadulako

 Diskusi ini difasilitasi oleh Ardin Tahir (Yayasan Ekonesia) dan Torry Kuswardono (Yayasan Pikul).

 

Temuan dan Rekomendasi AEER

Provinsi Sulawesi Tengah dikenal sebagai wilayah yang rentan terhadap perubahan iklim akibat faktor geografis, sosial, dan ekonomi. Di sektor pertanian, Dinas Pertanian menargetkan perluasan lahan tanam padi—baik sawah maupun ladang—dari 126 ribu hektare pada 2024 menjadi 251 ribu hektare. Namun, produktivitas pertanian Sulawesi Tengah masih rendah, yaitu sekitar 4 ton per hektar, tertinggal jauh dibanding Makassar yang telah mencapai 8 ton per hektar.

 

Di sisi ekonomi, pertumbuhan ekonomi Sulawesi Tengah melambat pada 2024 menjadi 9,9%, turun dari 11,9% pada 2023. Penurunan ini dipengaruhi oleh gejolak ekonomi China dan kelebihan produksi stainless steel, yang berdampak langsung pada industri pengolahan di kawasan tersebut.

 

Dalam sesi diskusi, sejumlah Organisasi Perangkat Daerah (OPD) mengungkapkan keterbatasan wewenang dalam pengawasan dan perizinan kawasan, terutama terkait Proyek Strategis Nasional (PSN) di sektor industri pengolahan nikel dan perkebunan sawit. OPD mengeluhkan bahwa peran pemerintah daerah hanya sebatas memberikan rekomendasi, tanpa kewenangan penuh dalam mengontrol aktivitas yang terjadi di wilayahnya.

 

Sulawesi Tengah menghadapi tantangan besar dalam sektor pangan dan energi, terutama dalam transisi energi dan keberlanjutan lingkungan. Pada tahun 2023, sektor industri pengolahan menjadi penyumbang terbesar PDRB dengan kontribusi 40,4%, namun masih bergantung pada sumber energi berbasis fosil. Saat ini sekitar 83% listrik di provinsi ini berasal dari PLTU batubara, sementara pemanfaatan Energi Baru Terbarukan (EBT) hanya 9%. Dominasi PLTU captive di kawasan industri, khususnya smelter nikel yang menggunakan 5.535 MW, jauh melampaui daya listrik dari PLN yang hanya 406 MW, menyebabkan emisi karbon yang tinggi. Target bauran energi nasional untuk mencapai 30,5% EBT pada 2025 masih jauh dari realisasi, yang justru menurun menjadi 9,38% pada 2024 akibat peningkatan penggunaan batubara di sektor industri.

 

Di sektor perkebunan, Sulawesi Tengah memiliki luas perkebunan sawit mencapai 152.597 hektar, dengan 56% dikuasai perusahaan swasta, 39% perkebunan rakyat, dan 3% perusahaan negara. Produktivitas sawit rakyat masih rendah, hanya 3 ton per hektar, dibandingkan 5–7 ton per hektar di perkebunan swasta. Tantangan utama meliputi harga bibit yang tinggi, banyaknya tanaman tua, serta tumpang tindih lahan dengan pertambangan dan masyarakat adat.

 

Selain itu, perubahan iklim semakin memperburuk ketahanan pangan dan energi di Sulawesi Tengah. Konsentrasi gas rumah kaca seperti CO₂ dan metana terus meningkat sejak 2018, menyebabkan kenaikan suhu, perubahan pola curah hujan, serta meningkatkan risiko bencana seperti banjir dan kekeringan, terutama di Morowali Utara. Tantangan lain termasuk alih fungsi lahan, keterbatasan pupuk (hanya 51.000 ton dari kebutuhan 110.000 ton urea yang tersedia), serta rendahnya minat generasi muda terhadap pertanian, yang dapat mengancam ketahanan pangan di masa depan.

 

AEER merekomendasikan agar pemerintah daerah dapat turut serta mengontrol industri dan pangan agar lebih terkendali, hal ini juga harus dilakukan mengenai dampak iklim yang jika tidak diperhatikan dengan baik akan berdampak buruk terhadap ketahanan pangan dan energi di daerah ini. Selain itu, pembatasan produksi dan juga penghentian penggunaan sawit yang berpotensi menyebabkan deforestasi dan penurunan emisi karbon juga penting. Pada kegiatan diskusi ini, AEER juga mengeluarkan dan membagikan factsheet atau lembar fakta tentang energi di Sulawesi Tengah terhadap para peserta yang hadir. Lembar fakta tersebut dapat dilihat di:

 

  • https://www.aeer.or.id/factsheet-energi-industri-pertambangan-di-sulawesi-tengah/
Share this article :

Aksi Ekologi & Emansipasi Rakyat berjuang memperluas ruang demokrasi dalam pengelolaan SDA berkelanjutan & membangun kesadaran ekologi politik rakyat.

Ikuti kami di sosial media!

Informasi & Kontak

Copyright 2025 © All Right Reserved Design by Aksi Ekologi & Emansipasi Rakyat