Kegiatan pertambangan nikel memiliki dampak negatif terhadap aspek sosial dan lingkungan di kawasan sekitarnya. Munculnya aktivitas eksplorasi dan ekstraksi mineral ini dapat memicu konflik kepentingan atas lahan dan sumber daya. Dalam banyak kasus, masyarakat terpaksa mengganti mata pencarian tradisional mereka dan pindah ke daerah lainnya. Selain itu, proses pertambangan nikel juga menyebabkan pencemaran air dan udara, pengurangan luas tutupan hutan, dan penurunan indeks keanekaragaman hayati. Pada gilirannya, degradasi lingkungan berpotensi mengancam kesehatan manusia.
Di Indonesia, kegiatan pertambangan nikel tengah berkembang seiring dengan peningkatan kebutuhan dunia akan baterai kendaraan listrik dan baja anti karat. Nikel merupakan komponen penting dalam pembuatan baterai ion litium yang digunakan dalam mobil listrik dan perangkat elektronik. Mineral ini mampu menyimpan lebih banyak energi dalam ukuran yang lebih kompak, memungkinkan kendaraan listrik memiliki daya tahan lama dengan satu kali pengisian baterai. Karena sifat nikel yang tahan terhadap korosi, suhu tinggi, dan karat, nikel juga jamak digunakan sebagai pelapis baja dalam industri konstruksi, otomotif, peralatan rumah tangga, serta makanan dan minuman. Pengembangan kegiatan pertambangan nikel, termasuk hilirisasi industri nikel, dirancang di luar Jawa dan berpotensi meningkatkan ekonomi daerah. Namun, rencana ini juga membuka celah atas penurunan taraf hidup warga dan kerusakan lingkungan.
Salah satu kawasan industri nikel yang perlu mendapatkan perhatian adalah Indonesia Weda Bay Industrial Park (IWIP). Tahapan konstruksi, operasional, dan pasca pertambangan dalam kawasan ini dikelola oleh PT IWIP, perusahaan patungan investor-investor Tiongkok, sedangkan teknis operasional pertambangan, seperti penambangan, pengolahan, dan pemurnian bijih nikel, dilakukan oleh tenan-tenannya. Area kawasan industri PT IWIP seluas 5.000 hektar, tepat berada di sepanjang garis pantai di Kabupaten Halmahera Tengah, Provinsi Maluku Utara. Area ini mencakup dua desa di Kecamatan Weda Tengah, yaitu Desa Lelilef Sawai dan Desa Lelilef Woebulen, tapi dampaknya berpotensi melebar ke dua desa lainnya di Kecamatan Weda Utara, yaitu Desa Gemaf dan Desa Sagea. Tahap konstruksi mulai berjalan sejak peresmian pada Agustus 2018 dan pengembangan kawasan saat ini masih berlangsung. Kini, kawasan IWIP telah dilengkapi smelter berteknologi Rotary-Kiln Electric Furnace (RKEF) dengan kapasitas total 500 kiloton logam nikel per tahun, Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) batu bara dengan kapasitas 1.000 MW, dan fasilitas pendukung lainnya, seperti pelabuhan, perkantoran, dan akomodasi karyawan.
Kedatangan PT IWIP membawa perubahan yang signifikan dalam tatanan sosial dan ekonomi di desa-desa terdampak. Perusahaan dianggap tidak menjalankan proses ganti kerugian yang layak dan adil. Petani-petani setempat terpaksa menjual lahan perkebunannya, dan beralih profesi. Tidak hanya mengurangi tutupan lahan pertanian, perusahaan juga melakukan reklamasi dan penebangan hutan bakau yang memaksa nelayan melaut lebih jauh. Kehadiran perusahaan memang telah membuka peluang ekonomi baru, tidak hanya bagi penduduk setempat, tapi juga pendatang dari pulau-pulau lain di Indonesia, seperti Sulawesi dan Jawa, dan bahkan dari Tiongkok. Sebagian penduduk setempat dan pendatang bekerja di PT IWIP, membuka indekos, atau menjalankan usaha pertokoan di sekitar kawasan industri. Namun, perubahan demografi tersebut melahirkan permasalahan lingkungan, seperti tumpukan sampah, jalanan berdebu, dan air tanah keruh. Degradasi lingkungan semacam ini meningkatkan jumlah kasus diare dan infeksi saluran pernapasan akut (ISPA).
Berbagai persoalan dialami juga oleh pekerja kasar PT IWIP. Dibandingkan dengan total jam kerja dan biaya hidup, upah yang mereka terima tergolong rendah. Akomodasi yang disediakan perusahaan pun dianggap tidak layak huni (misalnya air sanitasi buruk, banyak tikus). Beberapa pekerja dipecat sepihak oleh perusahaan karena diduga mereka memiliki hubungan saudara atau kekerabatan dengan warga yang masih menolak pembebasan lahan. Kondisi-kondisi tersebut menempatkan pekerja pada posisi yang lemah.
Seiring dengan pengembangan kawasan PT IWIP, kualitas air sungai dan laut mengalami perubahan. Bahkan sejumlah sungai tertimbun dan tidak lagi mengalir hingga ke laut. Dalam air Sungai Wosea, yang menyempit karena adanya aktivitas pembuangan material tanah (dumping) di sisi-sisinya, terdeteksi senyawa kromium heksavalen. Konsentrasinya melebihi baku mutu yang diatur oleh kriteria Initiative for Responsible Mining Assurance (IRMA). Di muara pembuangan air limbah PLTU, muara Sungai Ake Doma, dan Tanjung Ulie, penyimpangan yang sama ditemukan, dengan acuan baku mutu Peraturan Pemerintah No. 22 Tahun 2021. Tidak hanya menyebabkan kematian terumbu karang, konsentrasi kromium heksavalen di laut dapat terakumulasi dalam tubuh ikan yang kemudian dikonsumsi oleh manusia. Jika konsentrasinya terus meningkat, senyawa ini dapat mengubah morfologi tubuh, merusak sistem pencernaan atau bahkan menyebabkan kanker.
Perubahan kualitas udara di sekitar kawasan PT IWIP juga perlu mendapatkan perhatian. Selain karena pertambahan jumlah penduduk, pengurangan tutupan vegetasi dan peningkatan frekuensi lalu lintas di desa-desa terdampak turut berkontribusi pada tingginya konsentrasi debu di udara. Ini jelas terlihat di jalan kabupaten yang melintasi Desa Lelilef Sawai dan Desa Lelilef Woebulen yang berada tepat di sebelah barat kawasan industri. Hampir semua pengendara motor selalu mengenakan masker dan kacamata untuk melindungi wajah dan mata mereka dari debu. Selain itu, hasil pengukuran juga menunjukkan bahwa kehadiran PLTU dalam kawasan PT IWIP juga menyebabkan kadar partikulat debu di sekitarnya tergolong tinggi, melebihi kriteria IRMA. Paparan debu terus-menerus dapat mengancam kesehatan warga setempat. Menurut Pusat Kesehatan Masyarakat (Puskesmas) Lelilef, terjadi peningkatan kasus ISPA semenjak adanya PT IWIP. Sebelumnya, jumlah kasus tercatat sekitar 300 per tahun. Kini, jumlah mencapai 800 hingga 1.000 per tahun.
Kajian ini memberikan gambaran terkini tentang perubahan sosial dan kualitas lingkungan yang tengah terjadi di desa-desa terdampak sekitar kawasan PT IWIP di Kabupaten Halmahera Tengah. Dengan memahami dampak yang dirasakan oleh warga desa, laporan ini diharapkan dapat membuka mata pemangku kepentingan, baik pemerintah pusat dan daerah, akademisi, perusahaan, organisasi masyarakat, dan lembaga non-pemerintah, dalam merumuskan kebijakan dan strategi mitigasi demi menekan dampak dan menghindari bencana yang lebih luas di masa mendatang. Kesadaran akan pentingnya pendekatan berkelanjutan diharapkan dapat mendorong industri nikel menghadapi tantangan sosial dan lingkungan. Dengan demikian, perusahaan pertambangan nikel, khususnya di wilayah kajian, didukung oleh pemerintah, menjadi motor pertumbuhan yang bertanggungjawab dan berkontribusi pada pembangunan yang inklusif dan berkelanjutan bagi semua pihak yang terlibat.
Laporan ini telah mengalami perbaikan pada halaman 83. Perbaikan tersebut berkaitan dengan dua hal: (1) Klaim PT Trimegah Bangun Persada (Harita Group) yang mengatakan bahwa mereka tidak pernah membuang tailing ke perairan pesisir Pulau Obi; dan (2) Negara-negara yang tidak lagi mengizinkan praktek Deep-Sea Tailing Placement (DSTP), seperti Republik Chili.”
atau
(Tekan tombol “Download Alternative” diatas)
Copyright 2024 © All Right Reserved Design by Aksi Ekologi & Emansipasi Rakyat