Indonesia telah mengambil langkah besar dalam pengembangan energi terbarukan dengan diterbitkannya Peraturan Menteri ESDM No. 5 Tahun 2025, yang mengatur mekanisme perjanjian jual beli tenaga listrik (PJBL) dari pembangkit berbasis energi hijau. Regulasi ini memberikan kepastian kontrak hingga 30 tahun, memastikan stabilitas jangka panjang bagi investor. Selain itu, mekanisme harga yang berbasis Harga Patokan Tertinggi (HPT) atau negosiasi dengan PLN memungkinkan harga listrik lebih kompetitif, terutama bagi pembangkit berbasis intermiten seperti tenaga surya dan angin. Dengan pengakuan atas kredit karbon dan sertifikat energi terbarukan (REC), regulasi ini juga membuka peluang bagi pengembang untuk memperoleh pendanaan dari pasar karbon dan skema ESG financing.
Selain itu, regulasi ini memperbolehkan pembangkit tenaga surya, angin, dan energi laut untuk menggunakan teknologi penyimpanan energi, seperti baterai dan pumped hydro, guna meningkatkan keandalan sistem kelistrikan dan mengatasi intermittency. Langkah maju lainnya adalah pengakuan terhadap mekanisme Deemed Dispatch, yang memastikan bahwa jika PLN tidak dapat menyerap listrik dari pembangkit karena alasan tertentu, PLN tetap wajib membayar kompensasi, meskipun tidak penuh. Ketentuan penalti atau Liquidated Damage pun lebih fleksibel, di mana keterlambatan operasi hanya dikenakan sanksi dalam batas maksimal 180 hari, memberikan perlindungan lebih baik bagi pengembang proyek dari ketidakpastian yang berada di luar kendali mereka.
Namun, meskipun regulasi ini merupakan kemajuan dalam pengembangan energi terbarukan di Indonesia, ada beberapa hal yang masih perlu dikritisi jika tujuan utama adalah percepatan transisi energi. Salah satu kelemahan terbesar dari peraturan ini adalah tidak adanya skema yang lebih fleksibel untuk mengakomodasi berbagai jenis proyek energi terbarukan. Harga listrik dari energi terbarukan diatur berdasarkan HPT (Harga Patokan Tertinggi) atau negosiasi dengan PLN, yang dapat membuat proyek-proyek kecil sulit berkembang karena ketidakpastian harga. Selain itu, regulasi ini tidak menjamin 100% pembelian listrik oleh PLN, membuka celah bagi pembatasan (curtailment) jika terjadi oversupply di jaringan. Hal ini dapat menimbulkan kerugian finansial bagi pengembang, yang masih harus menanggung seluruh risiko dalam pembebasan lahan, perizinan, dan keterlambatan pembangunan, sementara PLN hanya menanggung risiko kesiapan jaringan transmisi dan volatilitas nilai tukar mata uang.
Selain itu, regulasi ini masih membebankan banyak penalti kepada pengembang. Penalti keandalan (Availability Factor/Contracted Energy), VAR, frekuensi, dan ramp rate bisa menjadi beban besar, terutama bagi proyek skala kecil atau berbasis energi intermiten. Penalti ini dihitung berdasarkan jumlah listrik (kWh) yang tidak dapat dipasok oleh pembangkit, sehingga jika terjadi kendala teknis atau cuaca ekstrem, pengembang bisa mengalami kerugian besar. Hal ini diperparah dengan tidak adanya dukungan finansial tambahan, seperti insentif pajak, subsidi, atau kredit lunak, yang dapat membuat investasi di energi terbarukan lebih menarik. Sebagai perbandingan, Vietnam dan Filipina telah memberikan tax holiday serta skema pembiayaan khusus untuk proyek energi hijau, yang seharusnya bisa menjadi referensi bagi Indonesia dalam mempercepat transisi energi.
Tantangan Besar: Resiko Curtailment yang Masih Mengancam
Salah satu risiko besar bagi pengembang energi terbarukan di Indonesia adalah curtailment, yaitu pembatasan produksi listrik oleh PLN karena alasan teknis atau ekonomi. Dalam banyak kasus, listrik dari energi terbarukan tidak dapat disalurkan ke jaringan meskipun pembangkit sudah siap beroperasi, sehingga pengembang mengalami kerugian karena tidak bisa menjual listrik yang telah mereka hasilkan.
Curtailment bisa terjadi karena beberapa alasan:
Curtailment sudah menjadi masalah di Vietnam setelah lonjakan besar investasi PLTS. Untuk mengatasi ini, Vietnam menerapkan sistem kompensasi bagi pengembang yang mengalami curtailment di luar kendali mereka. Sementara itu, di Jerman, sistem penyimpanan energi dan integrasi dengan pasar listrik telah mengurangi risiko curtailment secara signifikan.
Indonesia sudah mulai menangani masalah ini melalui mekanisme Deemed Dispatch dalam Peraturan Menteri ESDM No. 5 Tahun 2025, tetapi skema ini masih perlu diperjelas agar benar- benar melindungi pengembang. Jika curtailment tetap tinggi tanpa kompensasi penuh, investor akan ragu untuk masuk ke sektor energi terbarukan di Indonesia.
Priority Dispatch: Perlindungan bagi Energi Terbarukan yang Belum Ada di Indonesia
Salah satu mekanisme yang diterapkan di beberapa negara untuk mempercepat transisi energi adalah Priority Dispatch, yaitu kebijakan yang mewajibkan operator sistem tenaga listrik untuk memprioritaskan listrik dari energi terbarukan sebelum menggunakan listrik dari pembangkit berbahan bakar fosil.
Di Uni Eropa, mekanisme ini telah diterapkan dalam Renewable Energy Directive (RED II), yang mengharuskan listrik dari energi terbarukan menjadi pilihan pertama dalam sistem kelistrikan sebelum pembangkit lain diaktifkan. Negara-negara seperti Jerman, Spanyol, dan Denmark telah menerapkan Priority Dispatch selama bertahun-tahun, yang membantu mereka meningkatkan pangsa energi terbarukan dalam bauran energi nasional.
Vietnam juga mulai menerapkan pendekatan serupa, terutama setelah lonjakan investasi PLTS pada 2019-2021. Meskipun belum memiliki regulasi yang seketat Uni Eropa, Vietnam memberikan insentif bagi operator jaringan yang lebih banyak menyerap energi terbarukan.
Di Indonesia, Priority Dispatch belum menjadi bagian dari regulasi, sehingga PLN masih memiliki fleksibilitas untuk lebih dulu menyerap listrik dari pembangkit batu bara, yang lebih murah karena adanya subsidi harga batu bara melalui kebijakan Domestic Market Obligation (DMO). Jika Indonesia ingin mempercepat transisi energi, mekanisme Priority Dispatch harus mulai diterapkan agar listrik dari energi terbarukan lebih diprioritaskan dalam sistem kelistrikan.
Koordinator AEER, Pius Ginting menilai bahwa “Salah satu risiko besar bagi pengembang energi terbarukan di Indonesia adalah curtailment, yaitu pembatasan produksi listrik oleh PLN yang menyebabkan kerugian karena listrik tidak dapat disalurkan ke jaringan. Mekanisme Deemed Dispatch dalam Permen ESDM No. 5 Tahun 2025 sudah diperkenalkan untuk menangani masalah ini, tetapi mekanismenya perlu diperjelas agar benar-benar melindungi pengembang dan menarik investor untuk mengembangkan EBT di Indonesia”.
Analisa oleh Timotius Rafael dan Ronaldo Martua
Copyright 2025 © All Right Reserved Design by Aksi Ekologi & Emansipasi Rakyat