Siaran Pers AEER
Lebih jauh, tragedi ini terjadi di tengah meningkatnya kebutuhan dunia akan mineral kritis seperti tembaga. Tembaga menjadi tulang punggung transisi energi global—mulai dari kendaraan listrik, dan energi terbarukan, Grasberg, sebagai salah satu tambang tembaga terbesar di dunia, memiliki posisi strategis dalam memenuhi kebutuhan itu. Namun, justru tekanan untuk mengejar target produksi di tengah lonjakan permintaan global berpotensi memperlemah standar keselamatan kerja di lapangan.
Pasca insiden ini, Freeport Indonesia juga dipastikan tidak akan mampu memaksimalkan produksi emas dan tembaga hingga akhir 2025. Hal ini memperlihatkan bahwa mengabaikan keselamatan tidak hanya berdampak pada hilangnya nyawa pekerja, tetapi juga menimbulkan risiko bagi stabilitas pasokan global. Tragedi Grasberg menjadi pengingat bahwa orientasi pada produksi semata adalah jalan yang keliru: keselamatan pekerja harus ditempatkan sebagai prioritas mutlak dalam setiap operasi pertambangan, terlebih di era ketika mineral kritis semakin dibutuhkan dunia.
“Kecelakaan ini harus menjadi momentum kebangkitan regulasi. Pemerintah tidak boleh sekedar mengandalkan laporan dari perusahaan — UU No. 1 Tahun 1970 tentang Keselamatan Kerja sudah tidak lagi memadai untuk menjamin perlindungan pekerja di sektor berisiko tinggi seperti pertambangan bawah tanah. Harus ada investigasi independen, audit keselamatan secara rutin dan berkala, serta keterlibatan aktif pekerja dan serikat dalam pengawasan regulasi dan pelaksanaan standar K3 — semuanya sebagai bagian dari proses revisi mendesak UU K3,” demikian tegas AEER.
Keselamatan pekerja adalah hak dasar yang tidak bisa ditawar. Revisi mendesak UU K3, audit independen, transparansi informasi, serta partisipasi publik akan menjadi kunci agar tragedi serupa tidak terus berulang di tambang-tambang Indonesia.
Foto: Freeport, PTFI
Copyright 2025 © All Right Reserved Design by Aksi Ekologi & Emansipasi Rakyat