Siaran Pers AEER
Jakarta, 21 Agustus 2025 – Bertepatan dengan pelaksanaan Annual Indonesia Green Industry Summit (AIGIS) 2025, Aksi Ekologi dan Emansipasi Rakyat (AEER) mendesak pemerintah untuk segera menghentikan ketergantungan industri nikel di Sulawesi pada Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) berbasis batubara. Langkah ini penting agar agenda transformasi industri hijau tidak berhenti sebagai jargon, tetapi benar-benar terimplementasi.
Sulawesi kini menjadi episentrum industri nikel Indonesia, terutama di Morowali, Kolaka, dan Konawe. Sayangnya, kebutuhan energi di kawasan tersebut masih sangat bergantung pada PLTU milik industri, yang terletak berdekatan dengan pengolahan hasil tambang (captive), yang tidak terhubung ke jaringan PLN. Kondisi ini memperburuk krisis iklim, mengancam kesehatan masyarakat, dan merusak ekosistem.
“Pemerintah harus berani menghentikan pembangunan PLTU captive baru dan menyiapkan peta jalan penghentian bertahap (phasing out). Transisi energi bersih harus menjadi tulang punggung dekarbonisasi industri nikel,” kata Riski Saputra, Peneliti AEER, dalam diskusi di Jakarta (21/8).
Data Bappenas menunjukkan, total emisi industri nikel pada 2023 setara dengan 22% emisi sektor energi dan IPPU (Proses Industri dan Penggunaan Produk) nasional. Sebanyak 98% emisi tersebut bersumber dari aktivitas smelter pirometalurgi, dan 63% di antaranya berasal dari PLTU captive. Jika praktik dibiarkan, emisi gas rumah kaca dari industri nikel diproyeksikan melonjak 86% pada 2045. Kondisi ini akan makin menyulitkan Indonesia mencapai target net zero emission pada 2060.
Berdasarkan Rencana Umum Ketenagalistrikan Nasional (RUKN), potensi energi baru terbarukan (EBT) di Sulawesi mencapai lebih dari 250 GW, terutama dari tenaga surya dan air. Namun dalam dokumen operasional RUPTL 2025–2034, kurang dari 10 GW yang akan dikembangkan dalam 10 tahun ke depan. Jumlah listrik dari energi terbarukan ini jauh dari cukup untuk mengimbangi lonjakan kebutuhan listrik smelter saat ini.
AEER mengingatkan bahwa penambangan nikel besar-besaran di Sulawesi akan cepat menghabiskan cadangan yang tersedia. Dengan kecepatan penambangan yang sama, maka nikel di Sulawesi Tengah dan Tenggara akan diprediksi habis sebelum tahun 2045. Ini membuat pembangunan sumber energi bersih menjadi tidak menguntungkan bagi industri karena, tanpa terkoneksi dengan jejaring listrik (grid), maka listrik yang dihasilkan tidak berguna untuk wilayah lain.
“Ekstraksi berlebihan membuat risiko stranded assets (aset terbengkalai) bagi energi bersih semakin besar. Jika umur tambang hanya belasan tahun, sementara energi surya misalnya beroperasi 25–35 tahun, investasi energi bersih akan sia-sia. Sinkronisasi perencanaan tambang dan energi mutlak diperlukan,” kata Riski.
Inisiatif swasta, seperti pembangunan PLTS 1,27 MWp di kawasan Indonesia Morowali Industrial Park (IMIP), dinilai masih bersifat simbolis. “Agar industri nikel benar-benar sejalan dengan target net zero emission dan mau membangun energi bersih, PLN perlu mempercepat pembangunan jaringan interkoneksi listrik Sulawesi 150–275 kV,” kata Riski.
Selain cadangan yang terbatas, potensi tambang nikel di Sulawesi juga beririsan dengan lebih dari 1,2 juta hektar hutan alam. Jika kawasan ini dibuka, stok karbon yang hilang bisa mencapai ratusan juta ton. Karena itu, perlindungan hutan harus menjadi bagian integral dari strategi tata kelola industri nikel.
Annisa Putri Widiani, Perencana Ahli Pertama Bappenas, menegaskan bahwa pemerintah menargetkan pertumbuhan ekonomi 8% yang salah satunya ditopang industri nikel. Namun, Indonesia juga berkomitmen menurunkan emisi karbon hingga 45,73% pada 2030.
“Dekarbonisasi industri nikel adalah keharusan. Pada 2045, industri ini harus menurunkan emisi hingga 81%, salah satunya melalui transisi energi,” ujarnya.
Meski demikian, Annisa mengakui tantangan besar masih ada, terutama karena keterlibatan pihak swasta. Skema Just Energy Transition Partnership (JETP) yang seharusnya mendorong percepatan dekarbonisasi masih rendah penyerapannya. “Banyak investor menganggap proyek ini belum bankable,” katanya.
Yeni Gusrini, Analis Kebijakan Ahli Madya Ditjen Ketenagalistrikan ESDM, menjelaskan bahwa sistem kelistrikan Sulawesi bagian utara dan selatan masih terpisah. Untuk itu, PLN merencanakan pembangunan backbone 275 kV sepanjang 3.996 km yang akan menghubungkan seluruh Sulawesi. Pada 2034, penambahan EBT ditargetkan mencapai 7,7 GW.
Sementara itu, Kevin Marojahan, dosen Teknik Ketenagalistrikan ITB, menyoroti faktor biaya. Menurutnya, harga energi sangat mempengaruhi biaya produksi nikel, terutama dengan teknologi RKEF yang boros listrik. Karena itu, masih adanya izin membangun PLTU captive membuat batubara dianggap opsi paling murah secara tekno-ekonomis. “Tanpa kebijakan tegas, sulit berharap industri beralih ke energi bersih,” ujarnya.
AEER menegaskan, transisi energi di sektor nikel tidak cukup hanya mengganti sumber listrik. Efisiensi dan pembatasan produksi nikel, pembatasan konsumsi energi, serta perlindungan lingkungan juga harus menjadi bagian dari strategi. Tanpa tata kelola yang terintegrasi antara tambang, energi, dan ekosistem, industri nikel justru berisiko menjadi bom waktu bagi perekonomian dan iklim.***
Laporan Publikasi: Dari Captive ke Grid Hijau, Peran Industri Nikel dalam Dekarbonisasi Sistem Kelistrikan Sulawesi, bisa diakses di https://www.aeer.or.id/dari-captive-ke-grid-hijau-peran-industri-nikel-dalam-dekarbonisasi-sistem-kelistrikan-sulawesi/
Kontak Media:
Pradnya Paramarini | 0822-4976-1486 | pradnya@aeer.or.id
Copyright 2025 © All Right Reserved Design by Aksi Ekologi & Emansipasi Rakyat