Indonesia menyandang peran sentral dalam industri kendaraan listrik global, dengan cadangan nikel terbesar dunia—42,3 % pada tahun 2023. Nikel dari Indonesia, terutama produk antara seperti Mixed Hydroxide Precipitate (MHP) dan nickel matte, memasok rantai produksi baterai melalui peleburan di Tiongkok dan produsen mobil seperti Volkswagen, BMW, dan Mercedes‑Benz di Jerman dan Eropa.
Namun, dominasi ini tidak sejalan dengan tujuan kendaraan listrik yang ramah lingkungan. Pada tahap hulu (pertambangan) dan tengah (pemurnian), praktik bisnis nikel di Indonesia mengandung pelanggaran hak asasi manusia dan kerusakan lingkungan. Kasus penggusuran tanah tanpa ganti rugi, perampasan hak masyarakat adat, serta eksploitasi tenaga kerja—jam kerja panjang, upah rendah, kondisi kerja tidak layak—terjadi di banyak lokasi. Sementara itu, deforestasi massif menyebabkan erosi, polusi air, kehilangan keanekaragaman hayati, dan penggunaan pembangkit listrik tenaga batu bara memicu polusi udara dan risiko kesehatan masyarakat.
Kegiatan ini melanggar berbagai undang‑undang nasional mengenai HAM, agraria, ketenagakerjaan, serta perlindungan dan pengelolaan lingkungan. Meskipun pemerintah Indonesia memiliki tanggung jawab utama, tantangan ini juga menuntut akuntabilitas global—terutama dari seluruh pelaku rantai pasok baterai nikel, termasuk produsen mobil listrik. Mengingat konsumsi nikel terus meningkat, mereka wajib memastikan asal-usul bahan baku yang beretika dan berkelanjutan.
Riset ini bertujuan memetakan aktor dalam rantai pasok nikel untuk kendaraan listrik, serta menelaah relevansi undang‑undang Jerman dan Uni Eropa—termasuk German Supply Chain Due Diligence Act (SCDDA), EU Corporate Sustainability Due Diligence Directive (CSDDD), dan EU Battery Regulation (BATT2)—dalam menegakkan tanggung jawab atas pelanggaran lingkungan dan HAM. Temuan ini dipublikasikan untuk mendorong dialog publik, memberi suara pada masyarakat terdampak, sekaligus meningkatkan pemahaman tentang kontradiksi transisi energi dan keadilan sosial.