Pulau Sulawesi merupakan episentrum industri nikel Indonesia, dengan konsentrasi kawasan industri berskala besar dan permintaan listrik yang tinggi. Namun, hingga saat ini, kebutuhan energi untuk industri nikel di Sulawesi masih sangat bergantung pada PLTU captive berbasis batubara, yang tidak terhubung ke jaringan PLN dan menjadi sumber utama emisi karbon dan isu lingkungan serta kesehatan yang semakin parah. Di sisi yang lain, Inisiatif penggunaan PLTS sebesar 1,27 Megawatt-peak telah muncul seperti di IMIP, namun lebih bersifat simbolik (greenwashing) tanpa kontribusi nyata terhadap dekarbonisasi.
Padahal, secara potensi, kapasitas energi baru terbarukan (EBT) di Sulawesi sangat besar dan memadai untuk mendukung transisi energi di sektor industri nikel. Berdasarkan dokumen jangka panjang seperti Rencana Umum Ketenagalistrikan Nasional (RUKN), total potensi EBT di Sulawesi mencapai lebih dari 250 GW, dengan dominasi tenaga surya dan air. Namun, dalam dokumen operasional seperti RUPTL 2025–2034, realisasi pengembangan EBT masih terbatas, hanya sekitar 8,5 GW dalam 10 tahun ke depan, jauh di bawah kebutuhan aktual untuk elektrifikasi sektor industri nikel.
Dalam konteks dekarbonisasi nikel, RUPTL Sulawesi dinilai belum cukup ambisius. Dokumen ini belum mengakomodasi secara serius lonjakan permintaan energi dari kawasan industri nikel baru seperti di Morowali, Kolaka, dan Konawe, yang akan terus tumbuh dalam 10 tahun mendatang. Padahal interkoneksi jaringan listrik Sulawesi untuk menunjang industri yang juga didukung dengan pengembangan EBT penting untuk mengatasi persaingan “hijau” antara negara dan krisis iklim.
Dalam kondisi seperti ini, kemitraan antara PLN dan pelaku industri menjadi kunci. PLN dapat membangun gardu induk strategis dan jaringan backbone 150–275 kV, sementara industri berkontribusi melalui pembiayaan jaringan atau joint operation. Tantangannya meliputi standar teknis yang belum seragam, tarif excess power yang belum disepakati, dan resistensi dari industri yang merasa lebih hemat dengan sistem captive.
Dengan kapasitas EBT yang sangat besar di Sulawesi dan kebutuhan energi yang tinggi dari smelter, peta jalan dekarbonisasi seharusnya menyelaraskan antara pengembangan PLTA, PLTS, dan PLTB dengan kebutuhan produksi nikel berdasarkan prinsip net zero emission. Selain itu, rencana produksi tambang juga harus disesuaikan agar tidak mendorong konsumsi energi berlebihan dan mempercepat kerusakan ekosistem.
Kesimpulan Kunci:
• Potensi EBT sangat mencukupi, namun belum dimanfaatkan optimal dalam RUPTL.
• PLTU captive masih mendominasi, dan strategi elektrifikasi smelter dengan EBT belum berjalan.
• Interkoneksi jaringan penting secara teknis, tetapi perlu skema kolaboratif untuk mengatasi hambatan finansial.
• Dekarbonisasi harus mengintegrasikan perlindungan lingkungan dan efisiensi produksi, bukan hanya mengganti sumber energi.