AEER Desak Penguatan Due Dilligence Pasokan Scrap dan Limbah Industri Baja Pasca Kontaminasi Cesium-137 di Cikande

JAKARTA, 2 Oktober 2025 – Aksi Ekologi dan Emansipasi Rakyat (AEER) mendesak komitmen regulasi due dilligence, pengawasan limbah industri, serta perbaikan praktik di sektor baja. Desakan ini menyusul pernyataan pemerintah bahwa PT Peter Metal Technology (PMT), pabrik peleburan baja di kawasan industri terbesar di Indonesia – Kawasan Industri Modern Cikande, menyebabkan insiden serius kontaminasi radionuklida Cesium-137 (Cs-137), yang terdeteksi pada peti kemas produk udang milik PT Bahari Makmur Sejati (BMS) yang berjarak sekitar 3 km dari lokasi pabrik PT PMT dalam kawasan industri tersebut.

 

Pius Ginting, Koordinator AEER, menilai bahwa kasus PT PMT mencerminkan lemahnya penerapan due dilligence yang memadai dalam rantai pasok industri baja Indonesia, khususnya terkait aspek keamanan lingkungan dan kesehatan publik. Salah satu celah bagi masuknya kontaminan radionuklida adalah keterbatasan sistem pelacakan asal-usul material serta lemahnya pengawasan terhadap impor logam bekas. Dalam kasus PT PMT, mereka menerima impor logam bekas dari Filipina yang kemudian ditemukan mengandung kontaminan Cs-137. Kondisi ini menggarisbawahi pentingnya penerapan standar verifikasi bahan baku yang ketat sebagai bagian dari due dilligence industri peleburan baja. 

 

Selain itu, seiring dengan menguatnya agenda dekarbonisasi baja, pengolahan logam bekas (scrap) dengan teknologi Electric Arc Furnace (EAF) diperkirakan akan meningkat. Maka dari itu, kepatuhan industri terhadap standar tersebut juga harus menjadi perhatian utama guna menjamin perlindungan lingkungan dan keselamatan masyarakat.

 

Titis Fitriani, Spesialis Kebijakan Energi dan Lingkungan AEER, menambahkan bahwa pemerintah perlu memperketat pengawasan limbah industri baja dan mengevaluasi ulang klasifikasi limbah slag baja sebagai limbah non-Bahan Berbahaya dan Beracun (non-B3). KLH menemukan bahwa kasus PT PMT berawal dari penemuan titik penimbunan material slag hasil peleburan logam yang terkontaminasi Cs-137. Saat ini, limbah slag baja tidak lagi masuk kategori limbah B3 sesuai PP No. 22 tahun 2021, meskipun sebelumnya diklasifikasikan sebagai B3 dalam PP No. 101 Tahun 2014 dan Permen LHK No. P.10/MENLHK/SETJEN/PLB.3/4/2020. 

 

Penimbunan slag baja secara terbuka dapat meningkatkan risiko kontaminasi lingkungan. Debu radioaktif halus Cs-137 dapat tersebar melalui angin, hujan, atau pun aliran air permukaan. Kasus ini menekankan urgensi evaluasi kebijakan pengelolaan limbah slag baja dan memastikan penanganan limbah dilakukan dengan aman. Dalam konteks limbah B3, penutupan material menggunakan lapisan kedap air merupakan bentuk mitigasi dispersi limbah.

 

Mengingat luasnya Kawasan Industri Cikande sebagai salah satu kawasan industri terbesar di Indonesia, langkah cepat pemerintah dalam menangani kontaminasi patut diapresiasi untuk menjaga agar paparan tetap terkendali. Namun, yang lebih krusial adalah peningkatan koordinasi antar pemangku kepentingan, penguatan standar keamanan dan due dilligence dalam rantai pasok dan pengolahan limbah, pelaporan yang transparan, serta pengawasan industri yang rutin. Tanpa kerangka aksi yang tegas dan preventif, pemerintah akan terus bersikap reaktif terhadap krisis, dengan kepercayaan publik dan kesehatan masyarakat sebagai taruhannya.

 

Foto: Antara News

Share this article :

Aksi Ekologi & Emansipasi Rakyat berjuang memperluas ruang demokrasi dalam pengelolaan SDA berkelanjutan & membangun kesadaran ekologi politik rakyat.

Ikuti kami di sosial media!

Informasi & Kontak

Copyright 2025 © All Right Reserved Design by Aksi Ekologi & Emansipasi Rakyat