Rencana Harga Karbon Murah di Peraturan OJK Bukan Solusi untuk Krisis Iklim

Rencana Harga Karbon Murah di Peraturan OJK Bukan Solusi untuk Krisis Iklim

Siaran Pers

Peraturan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) tentang bursa karbon direncanakan berlaku mulai September mendatang. Ketua Dewan Komisioner OJK Mahendra Siregar dan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK) Siti Nurbaya juga baru menandatangani nota kesepahaman kerja sama dalam penyelenggaraan perdagangan karbon. Rancangan POJK ini pun masih dalam tahap pembahasan bersama Komisi XI DPR. 


Merujuk UU No. 4 Tahun 2023 tentang Pengembangan dan Penguatan Sektor Keuangan Pasal 23 Ayat 1, perdagangan karbon adalah mekanisme berbasis pasar untuk mengurangi emisi gas rumah kaca melalui kegiatan jual beli unit karbon. Pasal berikutnya menyebutkan bursa karbon adalah suatu sistem yang mengatur perdagangan karbon dan/atau catatan kepemilikan unit karbon. Perdagangan karbon di Indonesia akan dimulai dari sektor energi batu bara, selanjutnya perdagangan karbon akan lebih banyak berkaitan dengan sektor energi, kehutanan, dan industri. Direktur Jenderal Ketenagalistrikan Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), Jisman  Parada, memperkirakan harga karbon yang akan ditetapkan berada di rentang US$2-18 per ton CO2 setara Rp30 ribu-Rp270 ribu (dengan asumsi kurs Rp15.000). 

 

Koordinator Aksi Ekologi dan Emansipasi Rakyat (AEER) Pius Ginting mengungkapkan harga tersebut sebenarnya cukup rendah jika dibandingkan dengan negara lain yang lebih dulu menggunakan skema ini. Singapura sebagai negara pertama di Asia Tenggara yang menerapkan kebijakan ini menetapkan harga karbon sebesar S$5.36 per ton CO2e atau sebesar Rp59.000 (asumsi kurs Rp11.000). Bahkan, harga karbon di Korea Selatan mencapai US$30 per ton CO2e atau sebesar Rp450 ribu. Artinya, perkiraan harga karbon di Indonesia masih terlalu rendah.

“Rendahnya harga karbon menjadi kontradiktif dengan target Indonesia untuk pensiun dini dari batu bara. Sebab, perdagangan karbon justru berpeluang memberikan justifikasi untuk meneruskan PLTU dengan membeli kuota karbon jika melewati batas emisi yang ditentukan,” ujar Pius.

 

Ia pun menilai terdapat beberapa tantangan jika regulasi yang dikeluarkan pemerintah belum matang, serta kurang pengawasan dan transparansi dalam pelaksanaannya. Pertama, belum ada regulasi yang mewajibkan perusahaan untuk membuka jumlah emisi karbon yang dihasilkan. Selama ini, data jumlah emisi karbon milik perusahaan dan PLTU tidak bisa diakses oleh publik sehingga sulit untuk memperkirakan berapa jumlah karbon yang harus dibayar oleh perusahaan. Kedua, perusahaan berpotensi lebih memilih membeli karbon dibandingkan membangun proyek hijau seperti pembangkit listrik tenaga energi terbarukan. 

 

Solusi untuk mengatasi perubahan iklim akan semakin baik apabila perdagangan karbon di Indonesia dilakukan bersamaan dengan aksi-aksi lainnya untuk mengurangi jejak karbon  seperti pajak karbon, peningkatan portofolio hijau, dan transisi energi ke energi terbarukan. Alih-alih hanya mendorong aturan perdagangan karbon, pemerintah seharusnya juga fokus mempercepat implementasi pajak karbon (carbon tax) yang diatur dalam UU No 7 tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (HPP). Pasalnya, sejak diresmikan pada akhir 2021, pemerintah telah menunda penerapan aturan ini sebanyak dua kali hingga 2025 mendatang. Padahal, pajak karbon dapat menjadi mekanisme pengurangan emisi yang lebih ambisius sebab berlaku di semua sektor industri secara bertahap. 

 

Berkaca dari penerapan pajak karbon di Singapura sejak 2019, pajak karbon sudah diterapkan pada 80% dari total emisi gas rumah kaca (GRK) atau di 50 fasilitas sektor manufaktur, pembangkit listrik, limbah, dan air. Harga yang ditetapkan pemerintah Singapura mencapai S$5 per ton CO2e dan direncanakan naik secara berkala menjadi S$25 pada 2024-2025, S$45 pada 2026-2027, hingga S$50-80 di 2030. Dalam lima tahun penerapan pajak karbon di Singapura, pemerintah berhasil mendapat pemasukan S$1 miliar atau setara Rp14 triliun. Dana ini selanjutnya akan digunakan kembali untuk program dekarbonisasi dan transisi ekonomi hijau yang salah satu sasarannya adalah penelitian dan pengembangan untuk solusi perkotaan yang berkelanjutan melalui sistem Solar Photovoltaic (PV) dan teknologi rendah karbon. 

 

Capaian ini menunjukkan keberhasilan pemerintah Singapura dalam menerapkan pajak karbon yang diiringi dengan perdagangan karbon, yang bisa dicontoh praktiknya oleh Indonesia. Pada akhirnya, pemerintah harus memperhatikan sejumlah catatan kritis jika ingin menerapkan perdagangan karbon yang efektif sebagai solusi persoalan iklim. 

 

Pemerintah harus menentukan harga karbon yang sesuai. Harga karbon tersebut tidak boleh terlalu murah agar dapat memberikan perubahan perilaku bisnis bagi industri. Selain itu, pemerintah juga harus memiliki mekanisme perdagangan karbon yang jelas untuk menghindari keberadaan greenwashing oleh industri,” tegas Pius.

Share this article :

Aksi Ekologi & Emansipasi Rakyat berjuang memperluas ruang demokrasi dalam pengelolaan SDA berkelanjutan & membangun kesadaran ekologi politik rakyat.

Ikuti kami di sosial media!

Informasi & Kontak

Copyright 2024 © All Right Reserved Design by Aksi Ekologi & Emansipasi Rakyat