Siaran Pers
Jakarta, 7 Maret 2024 – Bank-bank BUMN belum berkontribusi besar dalam membantu Indonesia menurunkan emisi karbon. Portofolio pendanaan sektor energi bersih di perbankan BUMN masih sangat kecil jika dibandingkan dengan portofolio dan kredit sektor ekstraktif terutama batubara. Pada saat yang sama, pemerintah justru berencana menurunkan target penurunan target bauran Energi Baru Terbarukan (EBT) di Indonesia pada tahun 2025 menjadi 17% – 19% dari sebelumnya ditargetkan sebesar 23%.
Bank Mandiri dan BNI misalnya, justru mengalami peningkatan portofolio kredit ke sektor batubara. Berdasarkan materi analis meeting kinerja kuartal III-2023, portofolio kredit batubara BNI tercatat 3% dari total kredit perbankan pelat merah itu yang mencapai Rp 664,1 triliun secara bank only. Besaran porsi kredit batubara ini tumbuh jika dibandingkan dengan kuartal-III 2022 yang hanya 2,5% dari total kredit Rp 622,6 triliun secara bank only.
Sementara itu, berdasarkan materi paparan kinerja kuartal III-2023 Bank Mandiri mencatatkan portofolio kredit batubara sebesar 3,2% dari total kredit bank only yang mencapai Rp 1.016 triliun per September 2023. Porsinya naik dari 2,2% dari total kredit bank only sebesar Rp 907,8 triliun pada periode yang sama tahun sebelumnya. Sayangnya, BRI belum membuka informasi terkait pembiayaan ke sektor batubara pada publik per tahun 2023.
Untuk proyek Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) Terapung di Cirata, Jawa Barat dengan kapasitas 192 MWp, diperlukan investasi sekitar US$ 143 juta, yang setara dengan Rp 2,24 triliun (dengan kurs Rp 15.673). Investasi ini relatif kecil dibandingkan dengan total investasi yang dilakukan oleh bank-bank BUMN pada sektor batubara. Misalnya, jika Bank Mandiri mengalihkan dana kreditnya sebesar Rp 664 triliun dari sektor batubara ke energi terbarukan, bisa tercipta sekitar 296 PLTS Terapung serupa. Sementara itu, kredit BNI untuk batubara yang mencapai Rp 1.016 triliun bisa digunakan untuk membangun sekitar 453 PLTS Terapung dengan kapasitas yang sama.
Koordinator Perkumpulan Aksi Ekologi dan Emansipasi Rakyat (AEER) Pius Ginting mengungkapkan peningkatan portofolio ini menunjukkan komitmen yang tidak serius dari bank-bank BUMN terhadap upaya mengatasi krisis iklim. Ketika kredit untuk sektor ekstraktif mengalir deras, pinjaman yang diberikan untuk energi terbarukan masih sangat minim dan sulit. Berdasarkan laporan Environment, Social, and Corporate Governance (ESG) Report 2023, masing-masing bank masih memberikan pinjaman di sektor energi terbarukan dengan nominal yang sangat kecil.
Secara berurutan, Bank Mandiri hanya memberikan pembiayaan berkelanjut di sektor energi terbarukan sebesar Rp9,7 triliun. Kemudian portofolio kredit kategori kegiatan usaha berkelanjutan (KKUB) BNI di sektor energi terbarukan hanya Rp10,2 triliun, angka ini mengalami penurunan dari tahun sebelumnya sebesar Rp10,9 triliun. Sedangkan, kredit untuk energi terbarukan yang diberikan oleh BRI pada 2023 hanya sebesar Rp6,02 triliun.
“Meski porsi kredit energi terbarukan cenderung meningkat setiap tahunnya, namun jika dibandingkan dengan porsi kredit ekstraktif terutama batubara angka ini masih sangat kecil. Komitmen pemerintah untuk menurunkan emisi gas rumah kaca seharusnya juga tercermin dari keputusan investasi bank-bank BUMN,” ujar Pius.
Sementara, perhitungan emisi yang dihasilkan dari pembiayaan bank BUMN masih sangat tinggi. Berdasarkan pembiayaan yang diberikan Bank Mandiri menunjukkan sektor pembangkit listrik menghasilkan emisi paling tinggi dengan 2,4 juta ton CO2e, disusul sektor besi dan baja, kemudian minyak dan gas, hingga peternakan. Sementara BNI mendanai sektor industri pengolahan yang menghasilkan 12 juta ton CO2e melalui pembiayaan Rp123 triliun, disusul sektor perdagangan dengan 3,4 juta ton CO2e dan pertambangan dengan 1 juta ton CO2e. Untuk BRI, sektor listrik dan gas menghasilkan 6,2 juta ton CO2e disusul sektor manufaktur 2 juta ton CO2e hingga pertambangan dan penggalian menghasilkan emisi 1,8 juta ton CO2e.
Meski demikian, menurutnya tanggung jawab pendanaan proyek energi terbarukan tidak begitu saja dapat dilemparkan kepada bank BUMN semata, sebab terdapat aspek kehati-hatian dalam menyalurkan kredit karena tingkat risiko merupakan faktor utama bank dalam penyaluran kredit. Terlebih, saat ini pembiayaan proyek energi terbarukan masih memiliki sejumlah kendala. Pertama, adalah Statistik PLN 2022 menunjukan Beban Usaha Pembangkit Rata-rata per kWh energi terbarukan yang lebih tinggi jika dibandingkan dengan Beban Usaha Pembangkit Rata-rata per kWh yang berasal dari pembangkit listrik batubara.
Kedua, investasi EBT memiliki payback period yang cukup lama, jika dibandingkan dengan batubara. Terakhir, terbatasnya pengetahuan perusahaan pengembang mengenai akses pembiayaan EBT dan perbankan mengenai sektor EBT.
“Bank-bank BUMN tidak dapat meningkatkan pembiayaan EBT secara maksimal tanpa adanya iklim investasi dan regulasi yang kondusif untuk menurunkan tingkat risiko proyek-proyek EBT. Sementara, peningkatan pembiayaan energi terbarukan merupakan salah satu strategi untuk mengurangi dampak perubahan iklim. Pemerintah juga memiliki tanggung jawab untuk mengeluarkan kebijakan yang akan menurunkan risiko kredit proyek EBT sehingga bank-bank BUMN dapat mengambil tanggung jawab yang lebih besar,” tegas Pius.