Siaran Pers
Jakarta, 22 Oktober 2023
Pada 13 Oktober lalu, Kementerian Keuangan (Kemenkeu) mengesahkan Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 103 Tahun 2023 tentang Dukungan Fiskal dalam Percepatan Transisi Energi di Sektor Ketenagalistrikan. Peraturan ini merupakan beleid atau aturan teknis lanjutan dari Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 112 Tahun 2022 terkait percepatan pengembangan energi terbarukan dalam penyediaan listrik nasional. PMK terbaru ini menjadi jawaban akan kebutuhan terhadap kerangka pembiayaan transisi energi yang sedang diupayakan oleh Indonesia.
Secara garis besar, PMK tersebut merupakan landasan hukum untuk pembentukan Platform Transisi Energi (PTE) yang merupakan kerangka mekanisme pembiayaan transisi energi dengan PT Sarana Multi Infrastruktur (SMI), perusahaan special mission vehicle (SMV) di bawah Kemenkeu, sebagai manajer platform. Di dalam platform atau kerangka pendanaan yang diatur, peraturan ini juga memungkinkan penggunaan APBN dalam upaya transisi energi, khususnya pensiun dini PLTU dan pembangunan infrastruktur penunjang Energi Baru dan Terbarukan (EBT). Selain APBN, proyek terkait dapat pula mendapatkan pendanaan melalui kerja sama dengan lembaga keuangan internasional atau lembaga lainnya, seperti Energy Transition Mechanism (ETM). Secara khusus, peraturan ini juga mengatur bahwa pemanfaatan PTE terbatas untuk; 1) proyek PLTU yang operasinya diakhiri lebih cepat, 2) proyek PLTU dengan perjanjian jual beli listrik (PJBL) yang akan diakhiri lebih dulu, dan 3) proyek pengembangan EBT sebagai pengganti PLTU termasuk pengembangan jaringan listrik yang diperlukan.
Selain itu, peraturan ini juga mengatur setidaknya empat kriteria proyek transisi yang dapat didanai melalui PTE. Pertama, proyek yang dimaksud harus termasuk ke dalam Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL). Kedua, proyek terkait mesti memiliki ketersediaan teknologi penunjang EBT. Ketiga, proyek yang dimaksud harus termasuk ke dalam kategori hijau dan kuning di dalam Taksonomi Hijau Indonesia (THI) yang dirilis oleh Otoritas Jasa Keuangan (OJK). Keempat, proyek yang direncanakan wajib menerapkan prinsip Environment, Social, and Governance (ESG). Sebagaimana diatur dalam peraturan, pemohon yang berhak mengajukan fasilitas PTE dapat berasal dari PT Perusahaan Listrik Negara (PLN) (Persero), anak usaha PT PLN, badan usaha swasta pemegang izin penyediaan listrik, dan investor.
Koordinator Aksi Ekologi dan Emansipasi Rakyat (AEER), Pius Ginting, menilai PMK ini merupakan langkah penting dalam memberikan landasan hukum bagi upaya transisi energi di sektor ketenagalistrikan.
“PMK ini memberikan landasan hukum untuk mekanisme pendanaan transisi energi, khususnya penggunaan APBN serta kemitraan sebagai sumber pendanaan. Hal ini memungkinkan pembiayaan yang lebih terstruktur dan berkelanjutan untuk proyek-proyek transisi energi yang sangat diperlukan. Kemudian, PMK ini mengakui pentingnya menjadikan APBN sebagai jaring pengaman pendanaan transisi energi. Dalam upaya transisi energi, penting untuk memperhatikan kondisi keuangan negara dan memastikan alokasi yang efisien dari sumber daya publik. Selain itu, PMK juga memberikan kerangka kerja yang mempermudah monitoring pendanaan transisi, terutama dengan skema business-to-business. Ini akan membantu memastikan bahwa dana yang dialokasikan digunakan dengan efektif dan sesuai dengan tujuan transisi energi,” ujarnya.
Tantangan implementasi PMK 103/2023.
Pius juga menyoroti beberapa tantangan yang perlu diperhatikan dengan serius dalam implementasi PMK 103/2023, berikut:
Pertama, terkait transparansi publik. Dengan penggunaan APBN sebagai sumber pendanaan transisi energi, transparansi kepada publik dalam hal sumber, besaran, dan alokasi pendanaan menjadi esensial. Selain itu, dokumen Perjanjian Jual Beli Listrik (PJBL) pada masa yang akan datang juga harus dapat diakses oleh masyarakat untuk memastikan akuntabilitas dan keterbukaan. Ketidakterbukaan (nondisclosure) dalam perjanjian jual beli tenaga listrik, sebagaimana terjadi di Indonesia hingga kini, justru dapat berimplikasi pada kenaikan tarif dan biaya penyediaan listrik, oversupply, serta hutang tersembunyi (hidden debt). Kasus-kasus serupa tidak hanya ditemukan di Indonesia, tetapi juga di negara lain seperti Kenya, Bangladesh, Panama, Honduras, dan Vietnam. Setidaknya, pemerintah dapat menyusun persyaratan pengungkapan (disclosure requirement) minimum untuk perjanjian jual beli listrik.
Kedua, berkaitan dengan rencana revisi Taksonomi Hijau Indonesia (THI) yang akan memasukkan kembali PLTU ke dalam kriteria hijau dan kuning. Hal ini memberikan sinyal bahwa terdapat kemungkinan alokasi pembiayaan “hijau” kepada pembangunan atau peningkatan efisiensi PLTU, terutama yang menjadi pemasok listrik bagi industri “hijau”. Meskipun solusi jangka pendek seperti peningkatan efisiensi PLTU batu bara atau pemanfaatan co-firing biomassa dapat menguntungkan, pemerintah perlu mempertimbangkan solusi jangka panjang yang lebih berkelanjutan dan sesuai dengan tujuan transisi energi yang lebih luas.
Ketiga, berkaitan dengan risiko hutang (default risk). Penggunaan public debt (utang sektor publik) sebagai sumber pendanaan perlu diperhitungkan dengan cermat mengingat pelunasan akan hutang tersebut akan mempersempit ruang fiskal negara pada masa yang akan datang. Maka dari itu, AEER juga mengusulkan agar pemerintah mempertimbangkan solusi alternatif sebelum memutuskan untuk menggunakan APBN, seperti pemutihan hutang (debt-swap/debt cancellation) kepada negara-negara yang telah berkomitmen memberikan pendanaan dalam skema Just Energy Transition Partnership (JETP).
“Upaya transisi energi adalah langkah yang sangat penting menuju masa depan yang berkelanjutan dan ramah lingkungan. Oleh karena itu, transparansi, perencanaan yang bertanggung jawab, dan pertimbangan yang matang harus menjadi fokus utama dalam implementasi PMK ini. AEER terbuka untuk bekerja sama dengan pemerintah dan pemangku kepentingan lainnya untuk mencapai tujuan bersama dalam menciptakan masa depan energi yang lebih baik untuk Indonesia,” tegasnya.