Indonesia merupakan negara produsen nikel terbesar di dunia. Menurut Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), cadangan nikel di Indonesia sebesar 52% dari cadangan nikel dunia atau setara dengan 72 juta ton nikel. Pada tahun 2022, Indonesia tercatat sebagai produsen nikel terbesar di dunia dengan produksi sekitar 1,6 juta ton metrik dan memiliki cadangan nikel sekitar 21 juta ton metrik. Indonesia memegang peranan penting dalam rantai pasok global untuk nikel dan turunannya, yang sangat vital untuk pembuatan baterai EV.
Melihat potensi peningkatan permintaan nikel global, pemerintah Indonesia berupaya memanfaatkan kesempatan ini untuk meningkatkan ekonomi nasional. Dalam upaya tersebut, pemerintah Indonesia melarang ekspor bijih nikel dan meningkatkan pertumbuhan smelter tidak hanya untuk memproduksi nikel setengah jadi tetapi juga untuk memproduksi nikel baterai. Huayou Indonesia yang merupakan produsen nikel komponen baterai di Indonesia memasok produknya kepada Contemporary Amperex Technology (CATL), yang berlokasi di Cina. CATL merupakan pemasok baterai BYD, Tesla, dan Volkswagen yang merupakan tiga perusahaan produsen EV teratas.
Produksi baterai nikel haruslah memperhatikan aspek-aspek sosial lingkungan agar memberi manfaat bagi banyak pihak serta tidak berdampak negatif secara sosial lingkungan. Secara internasional, terdapat penilaian ESG yang mengevaluasi performa bisnis dan keberlanjutannya perusahaan dalam aspek lingkungan (environment), sosial (social), dan tata laksana (governance). Di tingkat nasional, Indonesia memiliki penilaian PROPER yang dinaungi Kementrian Lingkungan Hidup dan Kehutanan untuk menilai pengelolaan lingkungan (air limbah, emisi udara, dan pengelolaan limbah B3). Perusahaan-perusahaan yang terdaftar (public listed) di Bursa Efek Indonesia wajib melakukan dan melaporkan ESG- nya, sedangkan yang tidak terdaftar tidak memiliki kewajiban untuk hal yang sama. Untuk perusahaan yang tidak wajib tersebut, dapat dilihat peringkat PROPER perusahaan untuk menilai tanggung jawab dalam aspek keberlanjutan lingkungan.
Dari studi yang dilakukan oleh Aksi Ekologi dan Emansipasi Rakyat (AEER) ditemukan bahwa perusahaan produsen nikel yang sudah melantai di Bursa Efek Indonesia (BEI) belum transparan dan terbuka akan risiko aktivitas mereka terhadap lingkungan, sosial, dan tata kelola. Publik bahkan tidak memiliki akses informasi terhadap skor setiap metrik dalam penilaian ESG. Selain itu, apa yang dirasakan publik, terutama masyarakat lokal, seringkali tidak selaras dengan yang tertuang di dalam laporan perusahaan. Selain itu, smelter nikel produsen baterai di Indonesia (Huayue NC, QMB NEM, dan Halmahera PL) bahkan belum terdaftar di BEI, sehingga tidak punya tuntutan untuk melaporkan praktik bisnis sesuai dengan kerangka dan standar ESG.
Pada penilaian PROPER pun, sejumlah 7 dari 15 perusahaan di kawasan IMIP memperoleh peringkat merah yang artinya pengelolaan lingkungan belum sesuai dengan persyaratan yang diatur dalam perundang-undangan. Yang menjadi catatan penting juga adalah tidak adanya upaya perbaikan aspek lingkungan oleh perusahaan yang ditunjukkan melalui peringkat merah yang diperoleh dalam dua tahun berturut-turut. Padahal, perusahaan berperingkat PROPER merah mendapat sanksi administratif berupa instruksi perbaikan dan kewajiban mengikuti pembinaan paling lama tiga (3) bulan setelah peringkat PROPER ditetapkan.
Ditambah lagi, kebutuhan energi untuk proses produksi nikel di Indonesia masih disuplai dari PLTU batubara captive yang digerakkan oleh batubara, dengan porsi yang besar yaitu 8.817 MW atau setara 64,2% dari total energi PLTU batu bara captive. Di kawasan industri IMIP, kebutuhan energi listrik disediakan oleh pembangkit Sulawesi Mining Power Station yang merupakan PLTU batubara captive. Pembangkit ini dimiliki oleh PT Sulawesi Mining Investment, beroperasi dengan total kapasitas 2.080 MW (atau 2,08 GW). Sebagai gambaran, 1 ton nickel matte yang dihasilkan dari konversi nickel pig iron (NPI) akan mengemisikan 59 ton CO2, produksi 1 ton mixed hydroxide precipitate (MHP) dengan teknologi High Pressure Acid Leaching (HPAL ) mengemisikan 19 ton CO2. Aktivitas ini tidak selaras dengan cita-cita global Net Zero Emission yang diadaptasi oleh Indonesia sebagai Enhanced National Determined Contribution (ENDC) untuk menurunkan emisi dengan upaya sendiri (unconditional) 31,89% setara 915 MTon CO2-eq dan dengan bantuan internasional (conditional) 43,2% setara 1.240 MTon CO2-eq pada 2030.
Peningkatan produksi kendaraan listrik yang bertujuan untuk menurunkan emisi karbon global menjadi tidak sejalan jika nikel yang digunakan diproduksi dengan energi dari batu bara serta melalui praktik-praktik yang tidak mengindahkan ESG. Produsen EV sebagai penerima nikel untuk baterai memiliki andil dalam memengaruhi pasar dan standar nikel dengan menghentikan suplai nikel “kotor” tersebut untuk produksi EV mereka.
Copyright 2024 © All Right Reserved Design by Aksi Ekologi & Emansipasi Rakyat