Siaran Pers
Dubai, 3 Desember 2023 – Pada hari pertama (30/11) dari rangkaian agenda Conference of the Parties (COP) ke-28 di Dubai, Uni Emirat Arab (UEA), beberapa negara maju secara formal menyatakan komitmen untuk menggelontorkan dana loss and damage untuk menanggulangi efek perubahan iklim di negara-negara yang rentan terdampak. Hal ini merupakan jawaban atas kekhawatiran beberapa negara berkembang akan kebutuhan biaya yang besar dalam menghadapi dampak buruk perubahan iklim yang disuarakan pada perhelatan COP-27 tahun lalu di Mesir. Sebab, negara-negara dengan kontribusi emisi gas rumah kaca (GRK) yang relatif lebih rendah justru dianggap lebih rentan dalam menghadapi bencana kekeringan, kenaikan permukaan air laut, kejadian cuaca ekstrem, dan risiko fisik lainnya.
Sebagai tuan rumah, UEA sendiri telah berkomitmen untuk menyediakan dana sebesar US$100 juta. Jumlah yang sama juga akan diberikan oleh Jerman. Sementara, Inggris menyatakan komitmen sebesar £60 juta. Adapun, Amerika Serikat (AS) dan Jepang masing-masing hanya berkomitmen untuk menyumbang dana sebesar US$17,5 juta dan US$10 juta secara berturut-turut. Gabungan dana tersebut akan dikumpulkan oleh Bank Dunia dan direncanakan untuk mulai dikucurkan pada 2024. Dalam hal ini, perwakilan negara-negara berkembang akan dilibatkan dalam proses alokasi dana.
Meskipun dianggap progresif karena langsung ditetapkan pada hari pertama oleh Presiden COP-28, Sultan Al Jaber, rencana ini menimbulkan beberapa kritik dan keraguan, terutama dari kalangan aktivis lingkungan hidup. Koordinator Aksi Ekologi dan Emansipasi Rakyat (AEER), Pius Ginting menilai nominal dana yang dijanjikan oleh AS dan Jepang, masih jauh dari kata ambisius karena hanya kurang dari seperlima dana yang dijanjikan oleh UEA dan empat belas kali lebih kecil dari nominal yang dijanjikan oleh Uni Eropa.
“Padahal, AS dan Jepang merupakan negara industri pertama dengan jejak emisi historis yang tinggi. Peran Bank Dunia sebagai penyimpan dan penyalur dana juga patut dikritisi karena memiliki kedekatan khusus dengan AS,” tutur Pius yang turut hadir dalam COP-28 di Dubai.
Secara keseluruhan, jumlah dana yang dikumpulkan juga perlu selalu diawasi secara berkala. Menurut laporan yang dirilis oleh The Loss and Damage Collaboration untuk COP-28, dana loss and damage yang dibutuhkan untuk menanggulangi dampak buruk bencana hidrometeorologi di negara-negara berkembang mencapai US$400 miliar per tahun. Studi lainnya oleh Independent High-Level Expert Group on Climate Finance menyebutkan bahwa hingga 2030, dibutuhkan dana antara US$150–300 miliar untuk menghadapi dampak langsung dan rekonstruksi yang dibutuhkan.
Meski demikian, Pius menyambut baik rencana alokasi dana loss and damage ini sebagai bentuk tanggung jawab negara-negara maju terhadap dampak buruk perubahan iklim. “Penting untuk meningkatkan mitigasi atau pengurangan gas rumah kaca (GRK), agar loss and damage tidak membesar. Langkah ini semakin penting mengingat efek perubahan iklim akan semakin mengancam kehidupan bila kenaikan temperatur global melebih 1,5° C dari era pra-industri,” jelasnya.
Loss and damage, hingga risiko bencana hidrometeorologi
Loss and Damage akibat perubahan iklim menjadi perhatian utama bagi negara-negara berkembang seperti Indonesia, sebab terdapat lebih banyak komunitas rentan terhadap bencana. Loss and Damage timbul sebagai spektrum dampak negatif perubahan iklim, mulai dari peristiwa cuaca ekstrim, seperti badai tropis dan banjir, hingga peristiwa slow-onset, seperti kenaikan muka air laut dan kenaikan suhu udara.
Selama satu dekade terakhir, perubahan iklim secara signifikan mempengaruhi tingkat kejadian bencana di Indonesia. Peningkatan jumlah bencana dalam kurun waktu 10 tahun terakhir (2011-2021) didominasi oleh bahaya hidrometeorologi dan menunjukkan tren yang mengkhawatirkan. Menurut data Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), sebanyak 98,1% kejadian bencana di Indonesia dapat diatribusikan kepada kejadian meteorologi dan iklim ekstrim. Dengan proyeksi peningkatan jumlah bencana yang terus menerus, langkah-langkah perlu diambil untuk memperkuat kapasitas ketahanan nasional menghadapi variabilitas dan perubahan iklim yang semakin kompleks.
Statistik Kejadian Bencana tahun 2014 – 2023 di Indonesia (BNPB, 2023)
“Negara-negara kepulauan kecil adalah salah satu wilayah yang sudah menghadapi kerugian dan kerusakan yang sangat besar dan diperkirakan tingkat kerugiannya akan sangat besar. Khususnya, bagi negara-negara kepulauan kecil, suhu 1,5°C merupakan ambang batas kritis dimana mereka mungkin tidak mampu beradaptasi terhadap perubahan iklim,” papar Pius.
Sayangnya, saat ini justru terdapat banyak laporan yang menunjukkan bahwa dunia masih jauh dari komitmen iklim global yang telat ditetapkan. Lebih jauh, jika tidak ada tindakan ambisius, Indonesia dan dunia akan mengalami kenaikan suhu sebesar 3 derajat pada akhir abad ini. Untuk itu, penting bagi negara maju dan berkembang untuk memastikan era bahan bakar fosil telah berakhir.
“Saat ini pilihannya adalah transisi energi yang berkeadilan atau justru akan mengorbankan banyak nyawa di masa depan. Transisi ini harus dipastikan adil dan melibatkan berbagai kelompok rentan yang berpotensi akan menghadapi dampak krisis iklim ini secara langsung,” tegasnya.