Seri Kajian Energi Perkumpulan AEER
(Dwi mingguan, No #1, 2 Januari 2019)
Banyak pihak, termasuk Sekretaris Jenderal PBB Antonio Guiterres, mengharapkan agar China mengambil tindakan kepemimpinan dalam negosiasi perubahan iklim sesudah pemerintahan AS dibawah Donald Trump mengambil tindakan yang skeptis tentang perubahan iklim. China tergabung bersama dengan negara G 77 telah mendesak negara maju untuk melakukan tanggung jawab lebih dalam mengatasi perubahan iklim. Dalam pidato pembukaan COP 24 di Katowice, Polandia yang baru saja selesai, G77 dan China mendesak dilakukan transfer teknologi dari negara maju untuk negara berkembang dalam mitigasi dan adaptasi perubahan iklim.
China adalah negara yang paling besar melakukan investasi energi terbarukan untuk dalam negeri, sebesar 102,9 milyar $AS pada tahun 2015, sementara itu Amerika Serikat jauh lebih kecil yakni sebanya 44,1 milyar $AS (Laporan Institute for Energy Economics and Financial Analysis, IEEFA, 2017). Hal ini tentu diapresiasi.
Namun China diharapkan mengambil tindakan lebih dalam mengatasi perubahan iklim. Investasi asal China sampai saat ini tercatat sebagai salah satu yang terbesar dalam sektor energi batu bara. Diantaranya PLTU Jawa 7, PLTU Sumsel, Celukan Bawang dalam bentuk kepemilikan dengan jumlah kapasitas sebanyak 3.666MW, yang akan mengkonsumsi batu bara sebanyak 12,8 juta ton per tahun, yang akan menghasilkan gas karbon dioksida lebih dari 12 juta ton per tahun.
Keberadaan investasi asal China sudah dimulai pada Pemerintahan SBY lewat program Fast Track Program I(FTP I) sebesar dan FTP II sebesar dan program 35.000 MW pada masa pemerintahan Jokowi saat ini.
Di China sendiri, PLTU Batu bara telah ditinggalkan. Tercatat di dalam negeri Cina sebanyak 150 PLTU Batu bara telah ditangguhkan untuk mencapai target pengurangan emisi gas rumah kaca dan mengatasi polusi.
Pemerintahan China, dan juga negara lain seperti Jepang berdalih masih mendukung batu bara di luar negeri karena negara mitranya masih mengembangkan PLTU batu bara. Hal ini tentunya bertentangan dengan semangat kebijakan investasi luar negeri yang dibuat oleh China.
Garis Pedoman Kredit Hijau yang dikeluarkan oleh Komisi Regulasi Bank China pada tahun 2007 mengarahkan agar proyek luar negeri yang didukung oleh pendanaan dari China sejalan dengan praktek baik internasional. Beberapa lembaga keuangan internasional telah menghentikan pendanaan terhadap batu bara, perkembangan ini adalah standar praktek yang baik ditengah mendesaknya tindakan pengurangan emisi gas rumah kaca.
Pemerintah China perlu menunjukkan kepemimpinannya secara global dalam menahan laju perubahan iklim dengan mempertimbangkan kembali (menarik ataupun membatalkan) investasinya dari proyek energi fosil.
Tatkala tren global untuk meninggalkan batu bara, Indonesia justru kian konsumtif akan jenis energi ini. Berbagai penolakan datang dari warga dan organisasi lokal maupun internasional karena rentan terhadap ekologi dan relasi sosial, namun pembangunan PLTU tetap berlanjut di sejumlah daerah. Laju pembangunan PLTU lebih tinggi ketimbang energi lain, dan hingga 2017 batu bara mendominasi pasokan energi nasional, yaitu 57,22% (LAKIN DJK 2017). Sementara itu, energi terbarukan bergerak pelan dan menunjukkan tanda-tanda pekerjaan rumah nan berat untuk mencapai target 20% di tahun 2025.
Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional Indonesia, Bambang Brodjonegoro, saat Konferensi Tingkat Tinggi Perubahan Iklim 24 di Katowice, Polandia, mengatakan tiga aspek yang diupayakan pemerintah Indonesia untuk mitigasi perubahan iklim adalah penggunaan energi terbarukan, peremajaan hutan dan transportasi yang lebih efisien. Dalam bidang energi, laporan yang disusun oleh Germanwatch, NewClimate Institute dan Climate Action, 2018, menunjukkan kinerja Indonesia tergolong rendah (dari empat kategori: tinggi, menengah, rendah, dan sangat rendah) untuk energi terbarukan. Laporan tersebut menyebutkan, kurangnya mekanisme yang efektif menjadi salah satu faktor penunjang perlambatan pengembangan energi terbarukan.
Paradigma pembangunan gaya lama yang menjunjung pertumbuhan ekonomi tapi mengesamping keberlanjutan ekologi sudah sewajarnya dirombak. Penolakan warga dan sejumlah organisasi lingkungan patutnya dicatat sebagai bahan pertimbangan oleh pelaku bisnis dan pengambil keputusan. Sekian lama rakyat Indonesia menjadi korban atas beroperasi pembangkit listrik berbasis bahan bakar fosil yang mengusik “ketenteraman” sosial dan ekologi mereka. Ketidakadilan dalam penyediaan energi ini yang mengorbankan warga sekitar pembangkit perlu dihentikan dengan beralih ke energi terbarukan.
Disusun oleh
Jasman Simanjuntak , Peneliti Energi Perkumpulan AEER (Aksi Ekologi dan Emansipasi Rakyat)