Jakarta, 13 Juni 2024 – Dalam Pembaruan Kebijakan Energi Nasional (Draft RPP KEN) disebutkan salah satu strategi untuk menjaga ketahanan energi dalam transisi energi adalah mengoptimalkan penggunaan gas, sebagai transisi perantara. Namun, penggunaan gas alam memiliki risiko signifikan seperti kebocoran metana dan memperpanjang ketergantungan pada bahan bakar fosil, sehingga strategi ini tidak sejalan dengan upaya penghapusan bahan bakar fosil (fossil-fuel phase out).
Dalam misi Asta Cita, Prabowo-Gibran menyebutkan energi dalam misi kedua yakni “Memantapkan sistem pertahanan keamanan negara dan mendorong kemandirian bangsa melalui swasembada pangan, energi, air, ekonomi kreatif, ekonomi hijau, dan ekonomi biru”. Misi inilah yang menjadi landasan pemerintah untuk menyesuaikan kembali penyusunan arah kebijakan energi terutama yang terkait transisi energi. Hal tersebut menjadi bahasan utama dalam diskusi yang digelar Aksi Ekologi dan Emansipasi Rakyat (AEER) bertajuk “Menakar Arah Kebijakan Transisi Energi di Bawah Pemerintahan Prabowo-Gibran” pada Kamis (13/06) di Jakarta. Hadir dalam diskusi tersebut Nizhar Marizi, ST, M.Si, Ph.D, Direktur Sumber Daya Energi, Mineral dan Pertambangan Kementerian PPN/Bappenas, Satya Widya Yudha, M.Sc., Ph.D., Anggota Dewan Energi Nasional Republik Indonesia 2020-2024 dan Praktisi Energi, Brilliant Faisal, S.Pi., M.Si, Fungsional Perencana Ahli Madya Bappeda Provinsi Sumatera Selatan, dan Pius Ginting, Koordinator Nasional Aksi Ekologi dan Emansipasi Rakyat (AEER). Hadir sebagai moderator adalah Sapariah Saturi, jurnalis Mongabay Indonesia.
Transisi energi merupakan salah satu agenda penting bagi Indonesia dalam rangka mencapai target emisi karbon rendah dan beralih ke sumber energi yang lebih bersih dan berkelanjutan. Porsi energi baru terbarukan (EBT) dalam realisasi transisi energi baru menyentuh 12,3% pada akhir tahun 2022, sementara target hingga tahun 2024 adalah 17,9-19,5%. Namun, lambatnya transisi ini salah satunya disebabkan oleh ketidakseimbangan antara permintaan EBT dengan iklim investasi energi hijau. Oleh karena itu, kebijakan energi yang terkait dengan transisi energi, termasuk potensi investasi, perlu menjadi prioritas dan agenda penting dalam kepemimpinan Prabowo-Gibran mendatang. Nizhar Marizi, ST, M.Si, Ph.D menyebutkan bahwa dalam rancangan akhir Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJPN) 2025-2045, ada delapan arah transisi energi, salah satunya adalah Retirement PLTU secara bertahap.
Dalam rancangan akhir RPJPN tahapan yang telah disepakati di 5 tahun pertama (tahun 2025-2029) adalah fokus dalam mengembangkan EBT dan mengurangi emisi karbon dari energi fosil yang saat ini kita gunakan. Investasi skenario dekarbonisasi menuju Net Zero Emission (NZE) 2025-2060 adalah Rp794,6 triliun per tahun. Dalam kondisi ideal, dimana pemerintah dan swasta mengalokasikan 2% dari investasinya ke investasi hijau, masih terdapat investment gap sebesar Rp 458,2 triliun dari 2025-2060. Penerapan kebijakan pembiayaan hijau alternatif, seperti realokasi subsidi, pajak karbon dan perdagangan karbon, dapat mengisi 84% dari biaya gap tersebut. Artinya, masih diperlukan alternatif pendanaan inovatif lainnya dan investasi hijau yang berkelanjutan.
Brilliant Faisal, S.Pi., M.Si mengatakan Sumatera Selatan yang merupakan salah satu daerah yang perekonomiannya masih mengandalkan energi fosil, terutama batubara, siap mendukung pelaksanaan transisi energi menuju NZE 2060 sesuai arah dan kebijakan nasional. Sumatera Selatan yang saat ini mengacu pada landasan Perda Nomor 4 tahun 2020 tentang Rencana Umum Energi Daerah, telah mencapai target bauran EBT, bahkan melebihi target nasional, yaitu mencapai angka 23,85%. Tantangan yang terjadi saat ini adalah Sumatera Selatan diminta untuk menjadi mandiri energi, tetapi kewenangan pemerintah daerah terutama kabupaten itu terbatas. “Karena itu, dalam upaya transisi energi, pemerintah daerah memerlukan dukungan regulasi dari pemerintah pusat yang berpihak terhadap pemerintah daerah” ujar Brilliant Faisal.
Pius Ginting menyatakan bahwa selain faktor kebijakan, tantangan transisi energi yang juga perlu menjadi perhatian adalah aspek pendanaan. Mengupayakan aspek pendanaan tanpa menambah beban utang negara perlu diterapkan untuk meringankan beban utang, meningkatkan ketahanan fiskal negara dan memungkinkan transisi energi berkelanjutan. Melihat dinamika transisi energi dan segala tantangan yang dihadapi tersebut, maka penting untuk kolaborasi bersama semua pihak untuk mendorong kebijakan energi untuk transisi energi rendah karbon dalam kepemimpinan pemerintahan baru Prabowo-Gibran terutama untuk pengurangan emisi karbon dan transisi ke sumber energi yang lebih bersih dan berkelanjutan. Dan alih-alih mengoptimalkan penggunaan gas karena disebut sumber emisinya lebih rendah daripada batu bara, memaksimalkan pengembangan energi terbarukan yang potensial di Indonesia seperti pemanfaatan tenaga surya, angin, bioenergi, dan hidroelektrik seharusnya menjadi prioritas dalam rancangan transisi energi.
Seperti yang disebutkan dalam laporan IPCC, dampak perubahan iklim akan semakin memburuk. Dan jika kita tidak segera melakukan fossil fuel phase-out maka Cost of Inaction akan jauh lebih besar daripada cost of action – sehingga implikasi finansialnya akan berdampak pada semua orang, mulai dari pemerintah, perusahaan, hingga keluarga.