Persoalan polusi di Jakarta akhir-akhir ini memunculkan diskursus bahwa pemilihan moda transportasi dapat berkontribusi dalam emisi karbon negara ini. Pada 2021 lalu, berdasarkan Katadata.id, tercatat sektor transportasi menyumbang 135 metrik ton karbon dioksida, yakni sekitar 27% dari total emisi karbon yang dihasilkan di Indonesia.
Beberapa upaya sudah dilakukan oleh pemerintah untuk mengurangi emisi karbon karena mobilitas penduduknya setiap hari. Salah satunya adalah dengan akselerasi Kendaraan Bermotor Listrik Berbasis Baterai (KBLBB) dengan pemberian insentif, baik berupa subsidi maupun pemotongan PPN untuk motor, mobil, serta bus listrik. Kebijakan pertama kali diluncurkan pada 20 Maret 2023 dengan pemberian insentif untuk motor listrik sebesar Rp7 juta rupiah per motor listrik baru.
Dalam tulisan sebelumnya berjudul Potensi Persoalan Baru di Tengah Subsidi Kendaraan Listrik, saya pernah mengangkat potensi subsidi kendaraan pribadi berbasis listrik dapat memicu masalah baru, seperti kemacetan karena meningkatnya kepemilikan kendaraan bermotor. Fokus diletakkan pada besaran subsidi yang diberikan pemerintah pada kendaraan pribadi berbasis listrik versus angkutan umum. Saya mengambil contoh China, yang memberikan subsidi kendaraan pribadi berbasis listrik bersamaan dengan penerapan revitalisasi bus besar-besaran dengan rute yang bisa mencakup segala tempat.
Namun selain bus, terdapat salah satu moda eksisting yang sering luput dari perhatian para pemangku kepentingan. Padahal, selain moda ini bebas macet karena memiliki jalur sendiri, revitalisasi moda transportasi eksisting ini dapat mendorong penggunaan transportasi listrik di berbagai wilayah, tidak hanya Jabodetabek atau kota-kota besar semata. Moda yang mampu mengangkut banyak penumpang sekaligus ini telah beroperasi dan tersebar di banyak wilayah di Indonesia. Moda ini dikenal sebagai Kereta Api Lokal.
Minim Emisi Melalui Elektrifikasi
Kereta Api Lokal (KA Lokal) adalah layanan kereta api di bawah naungan PT Kereta Api Indonesia yang beroperasi untuk perjalanan lokal atau dalam daerah tertentu. KA Lokal ini memiliki dua jenis, yakni KA Lokal jarak pendek (10-50 kilometer) serta KA Lokal jarak menengah (50-100 km). KA Lokal berbeda jenis dengan KA Komuter maupun KA Ekspres, baik dari segi kecepatan, bahan bakar, bentuk tempat duduk, kapasitas penumpang, dan lain-lain. Saat ini, terdapat 23 KA Lokal berbeda yang tersebar di Pulau Jawa, Sumatera, serta Sulawesi.
Kini, yang perlu menjadi perhatian adalah jenis bahan bakar yang digunakan oleh KA Lokal tersebut. Berbeda dengan KRL Commuter Line yang sudah menggunakan listrik, sebagian besar dari KA Lokal hingga kini masih beroperasi menggunakan tenaga diesel.
Kereta Api dengan mesin diesel dioperasikan menggunakan solar sebagai bahan bakarnya. Berdasarkan Environmental Protection Agency Amerika Serikat, disebutkan bahwa polutan-polutan yang terkandung dari hasil pembakaran solar memiliki potensi bahaya yang cukup besar. Dari segi kesehatan, misalnya, paparan terhadap nitrogen oksida dapat mengakibatkan asma dan Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA). Selain itu, kandungan karbon monoksida, karbon dioksida, dan berbagai polutan gas rumah kaca lainnya dapat memperparah polusi, meningkatkan suhu rata-rata bumi, hingga menimbulkan perubahan iklim.
Berdasarkan perhitungan yang pernah dipublikasikan oleh Japan External Trade Organization (JETRO), KA Lokal dengan jenis lokomotif jenis CC mengonsumsi lebih kurang 4 liter solar per kilometer dengan emisi karbon per liter solar sebanyak 2,7 kilogram CO2. Dapat disimpulkan, satu kilometer yang ditempuh oleh kereta dengan lokomotif diesel akan menghasilkan emisi karbon sebanyak 10,8 kg Co2 per kilometer.
Sementara, kereta listrik mengonsumsi lebih kurang 2,9 kWh listrik per kilometer dengan emisi karbon 0,8 kg CO2 per KWH. Artinya, total emisi karbon per kilometer oleh kereta listrik sebesar 2,5 kilogram CO2 per kilometer atau hanya sebesar 23% dari besar emisi karbon kereta lokomotif diesel.
Jumlah penumpang kereta api di Pulau Jawa selain Jabodetabek telah mencapai lebih kurang 6 juta penumpang dalam satu bulan. Besarnya permintaan yang tinggi akan sarana perkeretaapian menunjukkan besarnya dampak karbon yang terjadi apabila KA Lokal tetap menggunakan mesin diesel. Hal ini menyebabkan konversi KA Lokal harus menjadi prioritas oleh pemerintah.
Wacana Elektrifikasi KA Lokal
Selain di Jabodetabek, KRL pertama yang beroperasi di Indonesia adalah KRL Solo-Yogyakarta sejak tahun 2021. Konversi ini dilakukan karena KA Prameks dianggap tidak lagi mampu menampung jumlah pengguna yang semakin banyak setiap harinya. Pada tahun 2016, sebanyak 2,9 juta penumpang menaiki KA Prameks, dan terus naik hingga mencapai 3,6 juta penumpang di tahun berikutnya. Alih-alih membangun sebuah sistem transportasi baru, solusi yang cukup murah dan sederhana yang diambil oleh pemerintah adalah mengonversi Kereta Api Prambanan Ekspres (Prameks) menjadi KRL.
Sejak dikonversi, KRL Solo-Yogyakarta mengalami banyak perubahan. Selain emisi karbon yang dihasilkan lebih sedikit, KRL Solo-Yogyakarta ini mampu melayani lebih banyak penumpang. Sebelumnya, KA Prameks mampu menampung 500-800 penumpang sekali jalan, dengan waktu tempuh 72 menit dan jumlah perjalanan round trip setiap harinya mencapai 21-24 kali. Namun sekarang, KRL Solo Yogyakarta mampu melayani 1.600-2.400 dalam sekali jalan, dengan waktu tempuh yang jauh lebih pendek pula, selama 40 menit. Dalam sehari, KRL melakukan 24 kali roundtrip. Perubahan-perubahan ini menunjukkan bagaimana konversi KRL bisa menjawab kebutuhan rakyat akan sistem transportasi massal berbasis rel yang mumpuni.
Pada Februari lalu, Kepala Dinas Perhubungan Kota Bandung, Dadang Darmawan, mengatakan akan dilakukan elektrifikasi terhadap KA Lokal Bandung Raya menjadi KRL. Proses konversi ini akan dilakukan pada 2024 mendatang, dimulai dari rute Padalarang-Bandung. KA Lokal Bandung Raya memang direncanakan akan menjadi feeder atau kendaraan penumpang untuk Kereta Cepat Jakarta Bandung (KCJB). Berkaca dari pengalaman konversi KA Prameks, Kasubdit Fasilitas Operasi Dirjen Perkeretaapian Kemenhub, Ferdian Suryo, berharap KA Lokal Bandung Raya juga mampu meningkatkan jumlah pengguna hingga 100%.
Sayangnya, selain wacana mengenai elektrifikasi Bandung Raya, berita mengenai konversi KA Lokal berbahan bakar diesel di wilayah belum juga terdengar. Padahal, terdapat banyak sekali KA Lokal yang selama ini luput dari perhatian pemerintah dan sudah waktunya dikembangkan lagi. Salah satunya adalah KA Lokal Wilayah DAOP VIII Surabaya.
Terdapat beberapa rute KA Lokal Surabaya ke berbagai wilayah di sekitar. Pertama, KA Komuter dengan rute Surabaya–Sidoarjo/Bangil PP. Jumlah perjalanan harian yang mencapai 22 kali perjalanan menunjukkan kebutuhan masyarakat terhadap transportasi umum yang melayani rute ini. Kedua, KA Komuter Sulam yang melayani rute Surabaya Pasar Turi–Lamongan PP. KA dengan waktu tempuh 1 jam 5 menit ini hanya memiliki 4 kali perjalanan setiap harinya, dengan kapasitas kereta sebesar 312 penumpang. Menyusul elektrifikasi KA Prameks dan berita elektrifikasi KA Lokal Bandung, elektrifikasi KA Lokal Surabaya dapat menjadi langkah selanjutnya dalam konversi kereta rel diesel menjadi kereta rel listrik.
Apabila pemerintah memang ingin fokus dalam pengadopsian kendaraan listrik, maka elektrifikasi KA Lokal di berbagai daerah di Indonesia juga perlu dijadikan prioritas. Selain mampu menekan emisi perjalanan hingga 77%, KA Lokal yang telah dikonversi terbukti mampu melayani kebutuhan penumpang dengan maksimal. Kapasitas yang lebih banyak serta waktu tempuh yang lebih cepat akan menjadi daya tarik bagi masyarakat untuk bersama-sama mengurangi jejak karbon perjalanan.
Tulisan ini telah dimuat oleh BeritaJatim.com pada Selasa (22/8/2023) dengan judul yang sama. Klik di sini.
Copyright 2024 © All Right Reserved Design by Aksi Ekologi & Emansipasi Rakyat