Jakarta, 1 Agustus 2023 – Indonesia adalah salah satu pemain kunci dalam bisnis nikel global. Pada 2022, Indonesia menyimpan 21% dari total cadangan nikel dunia dan memproduksi lebih dari 48% produksi bijih nikel dunia. Pemerintah pun mendorong hilirisasi nikel melalui pelarangan ekspor bijih nikel sejak 1 Januari 2020 yang ditetapkan melalui Peraturan Menteri ESDM Nomor 11 Tahun 2019. Sukses melakukan hilirisasi, Indonesia menjadi penghasil utama nikel primer dunia. Pertumbuhan cepat industri pengolahan nikel dan produk turunannya terutama berlangsung di kawasan-kawasan industri yang terintegrasi antara penambangan dan peleburan nikel, serta pengolahan produk turunan nikel untuk tujuan ekspor. Salah satunya industri nikel di Kabupaten Halmahera Tengah, Provinsi Maluku Utara. Area ini mencakup dua desa di Kecamatan Weda Tengah, yaitu Desa Lelilef Sawai dan Desa Lelilef Woebulen, tapi dampaknya berpotensi melebar ke dua desa lainnya di Kecamatan Weda Utara, yaitu Desa Gemaf dan Desa Sagea.
Peneliti Sosial Aksi Ekologi dan Emansipasi Rakyat (AEER), Andi Rahmana Saputra, mengungkapkan kedatangan industri nikel telah membawa perubahan signifikan dalam tatanan sosial dan ekonomi di desa-desa terdampak. Warga Halmahera Tengah menganggap perusahaan tidak menjalankan proses ganti kerugian atas lahan mereka dengan layak dan adil. Petani-petani setempat terpaksa menjual lahan perkebunannya, dan beralih profesi. Tidak hanya mengurangi tutupan lahan pertanian, perusahaan juga melakukan reklamasi dan penebangan hutan bakau, memaksa nelayan melaut lebih jauh.
“Pemicu konflik tenurial di Halmahera Tengah antara industri nikel dan masyarakat lingkar tambang di empat desa terdampak utamanya karena dua alasan yaitu: dampak ekonomi yang terjadi ketika warga kehilangan ruang penghidupannya dan masalah ganti rugi yang tidak sesuai dengan nilai ekonomi lahan bagi warga terdampak,” kata Andi.
Menurutnya, meski pun kehadiran perusahaan memang telah membuka peluang ekonomi baru, tetapi juga terjadi perubahan demografi yang melahirkan berbagai permasalahan lingkungan. Contohnya seperti tumpukan sampah, jalanan berdebu, dan air tanah keruh. Degradasi lingkungan semacam ini meningkatkan jumlah kasus diare dan infeksi saluran pernapasan akut (ISPA).
“Konsekuensi tidak langsung dari peningkatan jumlah penduduk di desa-desa sekitar kawasan smelter nikel adalah perubahan kualitas udara berupa polusi debu. Selain itu, perubahan demografi dan aktivitas tambang nikel diduga turut berdampak pada perubahan kualitas air serta sanitasi di desa-desa sekitar perusahaan tambang. Kondisi itu diperburuk dengan peningkatan sampah plastik di sekitar pemukiman yang tidak terkelola dengan baik. Selain itu, pasca masuknya smelter nikel di Halmahera Tengah, terjadi peningkatan kasus penyakit ISPA dan penyakit diare yang diduga merupakan dampak dari perubahan kualitas lingkungan (penyakit ISPA karena penurunan kualitas udara dan diare karena penurunan kualitas air dan sanitasi),” tutur Andi.
Peneliti Lingkungan AEER, Arfah Durahman, memaparkan penurunan kualitas air ditunjukkan oleh terdeteksinya ion logam kromium heksavalen di sejumlah titik air permukaan dan air laut. Hilir Sungai Wosea, yang melintasi kawasan industri nikel, mengandung kromium heksavalen dengan konsentrasi 0,017 mg/L. Kadar ini melebihi yang disyaratkan Initiative for Responsible Mining Assurance (IRMA) sebesar 0,011 mg/L. Ion toksik ini juga terdeteksi di beberapa titik di perairan laut dekat dengan aktivitas kawasan industri. Selain itu, udara ambien juga mengalami perubahan kualitas. Di jalan kabupaten yang membelah Desa Lelilef Sawai dan Desa Lelilef Woebulen, konsentrasi debu terdeteksi tinggi. Kadar particulate matter berdiameter kurang dari 10 µm (PM10), misalnya, mencapai 101 µg/m3. Angka ini, tidak hanya melampaui kriteria IRMA, tapi juga baku mutu yang diatur dalam Peraturan Pemerintah No. 22 Tahun 2021.
“Warga di Desa Lukulamo mengeluh sulitnya mencari ikan di Sungai Kobe. Airnya keruh karena sedimen. Nelayan juga sempat menyaksikan kematian ikan karang di laut, tepat di sisi kawasan industri. Tingginya suhu air bahang yang dibuang melalui saluran air limbah, berkontribusi pada masalah ini,” jelas Arfah. Menurutnya, perusahaan perlu memperhatikan perubahan-perubahan lingkungan tersebut. Perusahaan tidak hanya memantau kualitas lingkungan dalam kawasan industri, namun juga di desa-desa terdampak, dan ikut serta membantu warga mengatasi permasalahan tersebut.
Akademisi dan Aktivis Lingkungan Halmahera Tengah, Masri Anwar Santuli, bersepakat atas paparan yang disampaikan. Ia meminta agar pemerintah, baik pusat maupun daerah, agar melakukan evaluasi kebijakan terhadap operasional pertambangan dan smelter nikel di daerahnya. “Saya juga setuju bahwa problem itu yang terjadi di Halmahera Tengah. Problem tersebut adalah problem etik dan sosial yang paling krusial. Masyarakat, baik secara sosial maupun ekonomi, tersingkir dari wilayahnya sendiri. PT IWIP melakukan eksploitasi tanpa AMDAL dan masyarakat mengalami hal ini semua tanpa diinformasikan terlebih dahulu. Seharusnya pemerintah dan perusahaan tidak hanya mementingkan profit dan pembangunan semata, tapi juga perlu mementingkan aspek ekonomi, sosial, lingkungan, budaya, serta gender masyarakat lokal,” ucapnya.
Kemudian Anggota DPRD Halmahera Tengah sekaligus Aktivis Masyarakat Adat, Munadi Kilkoda, mengaku pihaknya tidak memiliki kewenangan terkait izin operasional pertambangan maupun smelter nikel. Menurutnya, kewenangan itu berada di pemerintah pusat. Ia pun mengakui bahwa pihak pemerintah daerah belum menjadikan isu sosial dan lingkungan sebagai agenda utama.
“Saat ini, yang menjadi fokus masih kepentingan ekonomi: profit dan penyerapan tenaga kerja. Efek sosial dan lingkungan belum masuk menjadi diskursus sama sekali. Sebagai pemerintah, kami di daerah tidak memiliki kewenangan dan posisi strategis untuk mengontrol PT IWIP, terutama jika dibandingkan dengan pemerintah pusat. PT IWIP termasuk dalam salah satu skema proyek strategis nasional dalam RPJMN, sehingga kami tidak memiliki kewenangan, baik dampak positif maupun buruk hasilnya,” tutur Munadi.
Direktur Pengendalian Pencemaran Air Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) Nety Widayati pun memaparkan saat ini pihaknya menyadari bahwa telah terjadi beban lingkungan di sekitar industri nikel. Itu lah alasan mengapa KLHK sudah dan sedang membina sejumlah perusahaan untuk mematuhi aturan lingkungan yang berlaku. Termasuk, persetujuan teknis (Pertek) dan pelaporan pemantauan lingkungan. Sementara, terkait limbah perusahaan yang dibuang ke laut, ia menilai hal tersebut merupakan tanggung jawab perusahaan untuk melaporkan data limbah yang dibuang.
“Memang smelter-smelter ini banyak yang belum melaporkan ke kami. Ini menjadi concern kami, kita harus memperbaiki kualitas pelaporan dari perusahaan-perusahaan ini,” tegasnya.