Beri Label Hijau Pembiayaan PLTU Batu Bara, OJK Lakukan Kemunduran Besar

Source: Emitennews.com

Beri Label Hijau Pembiayaan PLTU Batu Bara, OJK Lakukan Kemunduran Besar

Revisi regulasi Taksonomi Hijau oleh OJK membuka peluang pemberian label hijau pada PLTU batu bara untuk smelter (captive power plant).

 

Jakarta, 31 Agustus 2023 – Pembahasan revisi taksonomi hijau indonesia yang sedang dilakukan oleh Otoritas Jasa Keuangan (OJK) menuai kritik tajam. Sebabnya, dalam revisi tersebut OJK membuka kemungkinan pembiayaan batu bara untuk PLTU batu bara captive yaitu pembangkit di dalam kawasan industri akan diberikan label hijau. Langkah tersebut dianggap masyarakat sipil merupakan kemunduran besar dari perkembangan aturan pembiayaan berkelanjutan dan bertolak belakang dengan taksonomi hijau ASEAN yang memberikan label hijau untuk pembiayaan pensiun dini PLTU.

Saat ini kita dapat melihat dampak negatif perubahan iklim secara jelas dan jauh lebih awal dari perkiraan para ilmuwan. PLTU batu bara merupakan sumber utama yang signifikan emisi karbon terbesar secara global. International Energy Agency telah menyerukan tidak boleh ada PLTU batu bara baru untuk membatasi kenaikan suhu di bawa 1.5C sesuai dengan tujuan perjanjian Paris.

Institusi keuangan juga memiliki peran penting dalam mengatasi perubahan iklim. Lebih dari 200 lembaga keuangan global telah memiliki kebijakan untuk tidak lagi mendanai batu bara. Sayangnya tidak ada lembaga keuangan dari Indonesia yang masuk ke dalam daftar tersebut. Untuk itu sejumlah masyarakat sipil dan pakar menyampaikan rasa keberatannya atas langkah OJK tersebut.

Kutipan:

 

Binbin Mariana, Asia Energy Finance Campaigner dari Market Forces mengatakan:

“Rencana OJK yang mengkategorikan pembiayaan pembangunan PLTU batu bara untuk smelter ke dalam kategori hijau dengan alasan mendukung transisi Indonesia menuju energi terbarukan, berisiko meningkatkan praktik ‘transitionwashing’ oleh perbankan Indonesia.”

“Ini tidak sejalan dengan tujuan iklim global jika bank mengkategorikan pembiayaan PLTU batu bara sebagai transisi yang semata-mata membantu industri yang tidak ramah lingkungan agar terlihat ramah lingkungan.”

“Praktik transitionwashing saat ini sangat mengkhawatirkan karena pembiayaan hijau digunakan untuk mendanai perusahaan-perusahaan tinggi karbon yang tidak memiliki rencana yang kredibel untuk mengalihkan bisnis mereka dari bahan bakar fosil,” jelas Binbin.

Bhima Yudhistira, Ekonom dan Direktur Eksekutif CELIOS mengatakan:

“Arah dari perbaikan taksonomi hijau Indonesia tidak sesuai dengan komitmen transisi energi. Ada penunggang gelap dalam proses penyusunan taksonomi hijau. Seharusnya taksonomi hijau 2.0 tidak lagi mengakomodir sektor-sektor usaha yang berkontribusi pada peningkatan emisi karbon.”

“Justru yang diharapkan adanya label merah pada pertambangan batubara, migas hingga pembangunan PLTU baru. Jadi bank dan lembaga keuangan lainnya tidak punya celah dalam melanjutkan pembiayaan baru ke sektor energi berbasis fosil. Khawatir taksonomi hijau yang masih mengakomodir pembiayaan ke sektor energi fosil membuat bank makin tidak tertarik membiayai sektor energi terbarukan, ujungnya bauran energi terbarukan tetap kecil.” tandas Bhima.

Bhima juga menambahkan bahwa “OJK harus tegas menolak pembiayaan PLTU baru di kawasan industri atas nama mendukung hilirisasi. Perlu dipahami ketika pembiayaan PLTU baru dengan dalih hilirisasi justru masif, maka produk yang dihasilkan dari proses hilirisasi akan menghadapi banyak tantangan. Pertama, produk hilirisasi Indonesia khususnya nikel, dan bauksit akan dinilai menimbulkan emisi karbon yang tinggi. Sangat mungkin calon pembeli misalnya perusahaan baterai EV mencari sumber alternatif lainnya. Kedua, konsumen menjadi skeptis terhadap pengembangan kendaraan listrik karena proses hilirisasi masih bergantung dari energi batubara. Meski diberi insentif sebesar-besarnya, belum tentu penjualan mobil dan motor listrik akan laris di pasaran, apalagi di segmen ekspor.”

Pius Ginting, Kordinator Perkumpulan AEER (Aksi Ekologi dan Emansipasi Rakyat) mengatakan:

Mengkategorikan PLTU kawasan industri mineral transisi sebagai hijau sehingga pembiayaannya lebih mudah adalah bertentangan dengan prinsip keadilan sosial dan keadilan lingkungan. Jumlah warga di sekitar kawasan industri mineral transisi yang mengalami sakit pernafasan karena udara memburuk telah meningkat di kawasan industri di Morowali, Weda. Dengan tetap menggunakan PLTU, meskipun produk mineral transisi dapat mengurangi polusi di daerah urban namun memperparah polusi di daerah pedesaan pusat kawasan industri.”

Ahmad Ashov Birry, Koordinator #BersihkanIndonesia: 

“Di tengah krisis pencemaran udara yang terungkap di Jakarta, OJK tidak belajar dan malah mendorong replikasi malapetaka di tempat lain. Di saat urgensi untuk pembenahan tata kelola hilirisasi mineral transisi semakin mendesak, OJK malah menuang minyak dalam api.”

“Siasat OJK ini akan berdampak negatif pada target percepatan transisi energi Indonesia. Kita akan lihat, apakah skema kerjasama transisi JETP yang saat ini bahkan belum fit dengan target 1,5’C akan semakin mengalami kemunduran dan memaksa Presiden Jokowi, Presiden Biden, Perdana Menteri Kishida dan lainnya untuk menjilat liur mereka sendiri.”

Share this article :

Aksi Ekologi & Emansipasi Rakyat berjuang memperluas ruang demokrasi dalam pengelolaan SDA berkelanjutan & membangun kesadaran ekologi politik rakyat.

Ikuti kami di sosial media!

Informasi & Kontak

Copyright 2024 © All Right Reserved Design by Aksi Ekologi & Emansipasi Rakyat